Minggu, 24 Desember 2017

PERMASALAHAN TENAGA KERJA DIBAWAH UMUR DI INDONESIA


PERMASALAHAN TENAGA KERJA DIBAWAH UMUR
DI INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Tenaga kerja di bawah umur merupakan salah satu fenomena tersendiri yang terjadi di Indonesia dalam hal ketenagakerjaan. Secara langsung maupun tidak langsung keberadaan Tenaga kerja di bawah umur telah memberikan kontribusi dalam perekonomian. Namun disisi lain keberadaan Tenaga kerja di bawah umur justru membatasi hak anak itu sendiri karena bekerja bukanlah kewajiban seorang anak.
Tenaga kerja di bawah umur adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil yang berusia kurang dari 17 tahun. Kebanyakan dari para Tenaga kerja di bawah umur ini tidak sempat lagi menikmati masa bermain sebagaimana anak-anak yang lain. Bekerja dimasa anak-anak, baik sebagai bagian dari proses sosialisasi maupun sebagai akibat keterbatasan ekonomi keluarga, jelas telah menyebabkan anak-anak itu kehilangan hak-hak mereka. Hak anak yang paling asasi, yaitu mengembangkan identitas, belajar dan bermain. Sebenarnya Negara Indonesia juga telah mengantisipasi tentang masalah Tenaga kerja di bawah umur ini. Larangan ini terdapat dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku mulai tanggal 25 Maret 2003.
Tenaga kerja di bawah umur adalah masalah sosial yang telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan, jumlah Tenaga kerja di bawah umur di dunia mencapai sekitar 200 juta jiwa. Dari jumlah itu, 75  persen berada di Afrika, 7 persen di Amerika Latin, dan 18 persen di Asia.  Di Indonesia, diperkirakan terdapat 2,4 juta pekerja anak. Angka yang tercatat tersebut baru data anak jalanan, belum termasuk anak-anak yang terjun di sektor industri[1].
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas terkait dengan apa saya faktor yang menyebabkan adanya Tenaga kerja di bawah umur di bawah umur di Indonesia, permasalahan yang dihadapi dan cara mengatasi permasalahan tersebut dengan merujuk pada referensi-referensi jurnal penelitian dan buku mengenai Tenaga kerja di bawah umur di Bawah Umur ini.
1.2  RUMUSAN MASALAH
  1. Apakah faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ?
  2. Apakah permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ?
  3. Bagaimana cara mengatasi permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ?
1.3    TUJUAN PENULISAN
1.    Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
  1. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
  2. Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
1.4    MANFAAT PENULISAN
  1. Dapat mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
  2. Dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
  3. Dapat mengetahui cara mengatasi permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.




BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Tenaga Kerja Dibawah Umur
Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak.
Menurut Tjandraningsih (1995) Tenaga kerja di bawah umur adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya atau untuk orang lain dengan membutuhkan sejumlah besar waktu dengan menerima imbalan maupun tidak[2].
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur Pasal 1, menyatakan bahwa Tenaga kerja di bawah umur adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang, ayat selanjutnya menyatakan bahwa Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi Tenaga kerja di bawah umur berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.  
2.2  Perkembangan Tenaga kerja di bawah umur Di Indonesia
Tren kegiatan utama anak umur 15-17 tahun, menunjukkan bahwa selama Agustus 2013 – Agustus 2015 proporsi yang bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga, atau kegiatan lainnya) selalu mengalami kenaikan. Di sisi lain, proporsi mereka yang menjadi angkatan kerja  cenderung turun. Artinya, dari tahun ke tahun peluang anak-anak umur 15-17 tahun terlibat dalam kegiatan ekonomi di pasar kerja cenderung terus menurun.
Meskipun proporsinya cenderung selalu turun, namun anak- anak umur 15-17 tahun yang telah terlibat dalam kegiatan ekonomi di pasar kerja (menjadi angkatan kerja) tetap perlu mendapatkan perhatian. Hal ini berkaitan dengan target pemerintah menuju Indonesia bebas Tenaga kerja di bawah umur pada tahun 2022.
Angkatan  Kerja  Anak  Umur 15-17  Tahun di Indonesia

Tahun 2013-2015
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2013 s.d Agustus 2015 Ctt: 2013*) Merupakan hasil backcasting dengan menggunakan penimbang hasil proyeksi penduduk tahun 2010‒2035.
Pada Agustus 2015, anak umur 15-17 tahun yang telah bekerja jumlahnya mencapai 1,65 orang aatu sekitar 74,86 persen dari total angkatan kerja anak umur 15-17 tahun. Dibandingkan dengan Agustus 2014, jumlah tersebut turun sebanyak 448,45 ribu orang (21,41%). Sedangkan jika dibandingkan dengan Agustus 2013 turun sebanyak 958,68 ribu orang (36,81%).
Sementara itu, anak umur 15-17 tahun yang menganggur pada Agustus 2015 jumlahnya sebanyak 552,67 ribu orang atau sekitar 25,14 persen dari total angkatan kerja anak umur 15-17 tahun. Dibandingkan dengan Agustus 2014, jumlah tersebut turun sebanyak 167,92 ribu orang (23,31%). Sedangkan  jika dibandingkan dengan Agustus 2013 turun sebanyak 299,20 ribu orang (35,12%).
Dari data di atas terlihat angkatan kerja anak umur 15-17 tahun, baik yang sudah bekerja maupun yang masih menganggur, selama periode Agustus 2013 sampai dengan Agustus 2015 jumlahnya selalu berkurang. Ini merupakan hal yang positif jika penurunan jumlah angkatan kerja anak umur 15-17 tahun tersebut dibarengi dengan peningkatan anak umur 15-17 tahun yang masih bersekolah.
Tabel Estimasi Jumlah Tenaga kerja di bawah umur (15-17 tahun)
Berdasarkan Provinsi, Indonesia 2013-2015

Provinsi
Agustus
2013*
Agustus 2014
Agustus 2015
Aceh
5.085
5.471
5.610
Sumatera Utara
28.942
36.490
24.554
Sumatera Barat
4.943
7.448
7.186
Riau
13.969
12.522
12.600
Jambi
6.092
6.347
6.539
Sumatera Selatan
15.933
17.025
14.657
Bengkulu
2.405
3.753
2.497
Lampung
22.145
24.313
19.721
Bangka-Belitung
3.691
4.609
3.337
Kepulauan Riau
4.112
4.188
1.329
DKI Jakarta
45.934
24.968
19.398
Jawa Barat
166.954
141.536
100.012
Jawa Tengah
82.121
110.938
92.333
D I Y
5.511
9.002
7.050
Jawa Timur
78.080
70.179
64.162
Banten
24.465
33.348
25.970
Bali
13.546
10.253
11.650
Nusa Tenggara Barat
9.607
9.836
5.391
Nusa Tenggara Timur
11.862
9.041
8.222
Kalimantan Barat
15.362
17.997
14.479
Kalimantan Tengah
4.997
8.882
7.457
Kalimantan Selatan
11.489
13.921
10.826
Kalimantan Timur
8.308
6.514
3.705
Kalimantan Utara
-
-
859
Sulawesi Utara
6.567
4.268
3.381
Sulawesi Tengah
5.441
8.721
10.116
Sulawesi Selatan
20.389
31.394
18.162
Sulawesi Tenggara
6.744
4.296
5.783
Gorontalo
3.898
5.783
5.422
Sulawesi Barat
1.368
3.042
2.915
Maluku
2.422
2.865
3.171
Maluku Utara
3.561
1.424
1.256
Papua Barat
904
954
917
Papua
5.198
7.714
6.235
Total
642.045
659.042
526.902
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2013 s.d Agustus 2015


Estimasi Jumlah Tenaga kerja di bawah umur Berdasarkan Tempat Tinggal di IndonesiaTahun 2013-2015

Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2013 s.d Agustus 2015

Estimasi Tenaga kerja di bawah umur (15-17 tahun) Berdasarkan Lapangan Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia (Agustus 2015)
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2015
2.3  Regulasi terkait dengan Tenaga kerja di Bawah umur di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara pertama yang terpilih untuk ikut dalam Program Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pemerintah mengakui adanya golongan anak-anak yang harus bekerja karena alasan sosial-ekonomi, dan pada 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja." Peraturan ini mengizinkan penggunaan anak- anak di bawah usia 14 tahun yang terpaksa bekerja untuk membantu pendapatan keluarga mereka.
Peraturan ini juga mewajibkan adanya izin orang-tua, melarang pekerjaan yang berbahaya dan berat, membatasi lama kerja empat jam sehari, dan mewajibkan majikan untuk melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan ini. Namun peraturan ini tidak menetapkan usia minimum untuk anak-anak dalam kategori ini, yang secara efektif menggantikan ordinansi pemerintah kolonial tahun 1925 tentang "Upaya Membatasi Buruh Anak-Anak dan Kerja Malam bagi Wanita" yang masih berlaku sebagai undang-undang sampai sekarang tentang buruh anak-anak dan yang menetapkan batas usia kerja minium 12 tahun. Peraturan tahun 1987 itu tidak diberlakukan. Belum ada majikan yang diajukan ke pengadilan atas pelanggaran terhadap peraturan tentang hakikat pekerjaan anak-anak, dan belum ada laporan yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak. 
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tanggal 8 Januari 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak, Dasar hukum terkait dengan pekerja di bawah umur ini yakni :
1.         Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
2.         Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989
3.         Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2.4  Faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia
Grafik Perbandingan jumlah Angkatan kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Indonesia Tahun 2014-2016
Sumber : Pusat data dan informasi ketenagakerjaan Kementerian ketenagakerjaan Tahun 2016

Berdasarkan Penelitian Pusat Data Dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2016, ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia yakni :
1.    Faktor Kemiskinan dan Ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama timbulnya Tenaga kerja di bawah umur disamping faktor ekonomi lainnya. Ketidakmampuan ekonomi keluarga berpengaruh pada produktifitas kerja menjadi rendah, gizi kurang, perawatan kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan penyakit. Penghasilan orang tua yang rendah, menyebabkan anak terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal ketrampilan. Faktor kemiskinan dianggap sebagai pendorong utama anak untuk bekerja.
Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua ‘terpaksa’ memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari ‘sekadar membantu’ menjadi pencari nafkah utama. Tenaga kerja di bawah umur tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga menyebabkan ‘pemiskinan’, artinya anak-anak yang bekerja dan tidak mengecap pendidikan akan tetap hidup di dalam kondisi kemiskinan di kemudian hari. Akibat lebih jauh, generasi berikutnya akan tetap miskin dan tidak berpendidikan (Tadjhoedin, 1992: 68).
2.      Faktor Budaya
Beberapa faktor budaya yang memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah Tenaga kerja di bawah umur antara lain:
a.       Peran perempuan dalam keluarga.
Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja aga dapat membantu keluarga mereka. Pada masyarakat desa yang masih tertekan oleh adat-istiadat menganggap bahwa perempuan dapat dinikahkan secepatnya ketika sudah dianggap cukup waktunya, walaupun belum matang secara psikis maupun fisik. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak perempuan yang masih di bawah umur menanggung beban layaknya perempuan dewasa sebagai istri. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, perempuan juga sering diakui sebagi pencari nafkah pelengkap bagi keluarga. Ada dua variable sekaligus disini, anak perempuan yang masih di bawah umur di eksploitasi untuk berlaku layaknya perempuan dewasa sebagi seorang istri dan membantu tambahan nafkah bagi keluarga.
b.      Perkawinan dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafikin disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
c.       Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
d.      Peran anak dalam keluarga
Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
3.        Faktor Pendidikan
Berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orangtua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah da lebih baik bekerja dengan alasan:
a.       Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
b.      Biaya pendidikan mahal.
c.       Sekolah tinggi akhirnya jadi penganggur.
Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja anak.
4.             Faktor migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain:
a.       Penduduk desa kebanyakan bahwa kota memiliki banyak pekerjaaan dan lebih mudah mendapatkan penghasilan. Hal ini karena sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat dan lebih banyak, sehingga relatif lebih mudah mendapatkan uang daripada di desa.
b.      Usaha untuk mempekerjaan yang lebih sesuai dengan pendidikan, sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif untuk mengangkat posisi sosial.
c.       Bagi beberapa kelompok, kota memberikan kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat.
d.      Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi kerajinan industri. Hal ini karena kota terdapat banyak sarana yang mendukung usaha tersebut.
e.       Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa.
f.       Kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
g.      Beberapa penyebab meningkatnya jumlah Tenaga kerja di bawah umur terhadap faktor migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa ketidakpahaman mengenai urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa oknum untuk menjebak (khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di sewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
5.        Lemahnya Pengawasan dan Terbatasnya Institusi untuk Rehabilitasi
Adanya peraturan untuk melakukan perlindungan Tenaga kerja di bawah umur tidak diimbangi dengan pelaksaan dari aturan tersebut. Sehingga sangat dimungkinkan banyak sekali masalah-masalah yang timbul pada Tenaga kerja di bawah umur yang tidak bisa terselesaikan oleh aparat penegak hukum. Disamping itu, di Indonesia masih sangat kurang sekali lembaga-lembaga yang bisa melakukan rehabilitasi terhadap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial khususnya anak yang mempunyai masalah, antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat.
2.5  Permasalahan yang di hadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Kesejahteraan Anak Indonesia pada 2010 menemukan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia yakni[3] :
1.      Waktu Kerja yang lama
Sebanyak 1,92 juta anak-anak berumur antara 10 dan 14 tahun bekerja paling tidak 4 jam sehari. Angka itu diyakini sudah lebih tinggi lagi akibat krisis ekonomi 1998. Meskipun data tidak tersedia, masyarakat luas sepakat bahwa sekitar 2 juta anak-anak bekerja paling tidak empat jam sehari. Walaupun Undang- undang Ketenagakerjaan tahun 1997 menyatakan bahwa remaja (antara 15 dan 17 tahun) tidak boleh bekerja pada jam-jam tertentu di malam hari,  di  bawah tanah, di pertambangan, atau pada pekerjaan yang bisa memberi dampak negatif pada moral, seperti di tempat-tempat hiburan namun di Indonesia masih terdapat kejadian berupa kekerasaan kepada Tenaga kerja di bawah umur apabila tidak dapat menyelesaikan tugasnya secara tepat waktu atau tidak menuruti tugas yang diberikan kepadanya.
2.      Pemalsuan data
Jumlah keseluruhan anak-anak di Indonesia yang bekerja lebih dari 8,5% dikarenakan dokumen tentang usia anak-anak mudah sekali dipalsukan dan karena anak-anak di bawah 10 tahun tidak disertakan dalam survei itu.
  1. Upah minimum
Dikarenakan umur mereka yang tidak termasuk dalam angkatan kerja, maka upah yang diterima mereka pun tidak sesuai dengan UMK atau upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tentu hal ini membuat Tenaga kerja di bawah umur mendapatkan upah dengan jumlah yang sangat sedikit.
Banyak pembantu rumah tangga adalah wanita di bawah usia 15 tahun. Meskipun angka yang tepat tidak tersedia, diperkirakan jumlah pembantu rumah tangga anak-anak mencapai 1,5 juta. Para pengamat sepakat bahwa jumlah ini naik pada 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Sebuah survei yang dilakukan pada 1995 mengungkapkan bahwa jam kerja anak-anak ini panjang, upah mereka kecil dan mereka sering tidak sadar akan hak mereka serta sering jauh dari keluarga. 
  1. Kekerasaan dalam bekerja
Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di jermal ikan dan kapal nelayan. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan bahwa pada tahun 2001, 3.200 anak-anak bekerja di jermal-jermal lepas pantai, sering dalam kondisi yang mengenaskan. 
  1. Tidak adanya jaminan kerja
Banyak sekali anak-anak yang bekerja di industri formal seperti pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan "satelit" bagi industri besar. Namun, jumlahnya tidak diketahui dikarenakan dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Karena data yang dipalsukan iniilah, mereka tidak mendapatkan jaminan kerja atas resiko atau kecelakaan kerja yang dialaminya. Banyak terdapat industri-industri ini yang memperkerjakan anak-anak ini hingga sampai melukai anggota tubuh mereka seperti masuknya jari tangan mereka ke mesin produksi.
2.6  Cara mengatasi permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia
Upaya penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur perlu dilakukan secara terpadu antar sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur merupakan dilema pemerintah ingin melarang Tenaga kerja di bawah umur dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah. Sementara di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin, sehingga mengijinkan anak-anak terpaksa harus bekerja.
(Sumber : Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Tahun 2016)
Bagi anak-anak yang terpaksa karena alasan sosial - ekonomi, dalam upaya menambah pendapatan keluarga, maka pada tahun 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja". Dalam ketentuan ini pemerintah mengijinkan penggunaan anak-anak di bawah usia 14 tahun dengan mewajibkan adanya izin orang-tua dan melarang pekerjaan yang berbahaya, serta pekerjaan berat dan membatasi lama kerja empat jam sehari. Di samping itu, pengusaha wajib melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan tersebut. 
Perlindungan dari sisi penawaran dilaksanakan melalui program lintas sektor yang dimaksudkan untuk membatasi Tenaga kerja di bawah umur dari sumber atau institusi yang melahirkan Tenaga kerja di bawah umur dengan melalui tindakan preventif. Program-program aksi antara lain Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Tabungan Keluarga Sejahtera, Kredit Usaha Keluarga Sejahtera, Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif, Kemitraan Dalam Berusaha, Gerakan Wajib Belajar, Gerakan Nasional Orangtua Asuh. 
Dari sisi permintaan, upaya penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur dilakukan melalui industri atau perusahaan yang mempekerjakan anak. Ditengarai masih ada perusahaan yang mempekerjakan anak karena beberapa hal antara lain upah yang lebih murah, biaya produksi lebih sedikit, usia mereka relatif muda sehingga sangat mudah diatur, tidak banyak menuntut seperti pekerja dewasa. 
Pemecahan masalah tenaga kerja di bawah umur selanjutnya dapat dilakukan dengan cara pendekatan yang bersifat client centered (berpusat pada klien/pekerja anak) yakni pendekatan manajemen kasus. Dalam pendekatan manajemen kasus ada langkah-langkah yang bisa dilakukan yaitu sebagai berikut[4] :
1.         Penggalian kebutuhan.
Tahap ini dilakukan untuk mengenal dan memahami kebutuhan pekerja anak. Di samping itu digali pula tentang kemampuan anak dan kelompok terdekatnya  (keluarga atau teman sebaya) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan emosionalnya. Di samping itu juga dilakukan upaya untuk menggali sumber daya lembaga formal (sekolah, lembaga sosial dan lain-lain) untuk mengidentifikasi bantuan yang dapat diberikan kepada Tenaga kerja di bawah umur tersebut.
2.         Perencanaan pelayanan.
Untuk tahap ini dibentuk tim penanganan kasus yang terdiri dari berbagai profesi/lembaga yang terkait sesuai dengan masalah yang dihadapi pekerja anak.
3.         Pengadaan pelayanan.
Tahap ini merupakan tahap implementasi dengan cara menghubungkan Tenaga kerja di bawah umur dengan pihak- pihak yang berkompeten untuk mendapatkan pelayanan.
4.                                       Pemantauan.
Hal ini perlu dilakukan secara terus- menerus agar dapat diketahui perkembangan kemajuan klien (pekerja anak), dan pelayanan yang diberikan tidak terputus di tengah jalan.












BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas penulis memberikan simpulan terkait dengan permasalahan tenaga kerja di bawah umur ini yakni permasalahan Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia akan semakin pelik jika dibiarkan saja. Semakin hari semakin meningkat jumlah anak yang menjadi pekerja,jika tidak dilindungi oleh undang-undang, maka semakin besar pula peluang pengekploitasian hak asasi anak dan memperbesar angkakemiskinan penduduk di Indonesia. Banyak penyebab anak sebagai pekerja, salah satu yang paling mendasar adalah alasan kebutuhan sosial-ekonomi. Tenaga kerja di bawah umur tersebar pada beberapa sektor baik formal maupun informal dengan tingkat pendapatan rendah dan perlindungan ketenagakerjaan yang tidak pasti.
Untuk mengatasi masalah pekerja anak, seyogianya Pemerintah harus dengan tegas menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan terkait dengan tenaga kerja dibawah umur, Pemerintah melakukan perlindungan dengan tindakan preventif dan Pemerintah membuat/memperbaiki program yang sudah di canangkan untuk mengurangi jumlah pekerja anak.
3.2  Saran
Berdasarkan pembahasan diatas penulis memberikan saran terkait dengan permasalahan tenaga kerja di bawah umur ini yakni untuk mengatasi semakin maraknya Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah melakukan perlindungan dengan tindakan preventif, selain itu Pemerintah juga harus membuat/memperbaiki program yang sudah di canangkan untuk mengurangi jumlah Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ini seperti program yang sudah di canangkan yakni Program Keluarga Harapan untuk lebih di masifkan dalam pelaksanaanya serta Pemerintah harus menindak tegas Oknum atau perusahaan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Nandi. 2006. Tenaga kerja di bawah umur Dan Permasalahannya. Bandung:
     Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan Geografi Vol. 6, No.2
Subri, Mulyadi.2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia (Dalam Perspektif
     Pembangunan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pusat Data Dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Perencanaan dan
     Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2016
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001
     Tanggal 8 Januari 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak.





[1] Nandi. 2006. Pekerja Anak Dan Permasalahannya. Bandung: Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan
  Geografi Vol. 6, No.2. hlm. 1
[2] Subri, Mulyadi.2003.Ekonomi Sumber Daya Manusia (Dalam Perspektif Pembangunan).
  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.67
[3] Nandi. 2006. Pekerja Anak Dan Permasalahannya. Bandung: Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan
  Geografi Vol. 6, No.2. hlm. 5-6
[4]  Ibid. hlm.7-8