PERMASALAHAN
TENAGA KERJA DIBAWAH UMUR
DI
INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Tenaga
kerja di bawah umur merupakan salah satu fenomena tersendiri yang terjadi di
Indonesia dalam hal ketenagakerjaan. Secara langsung maupun tidak langsung
keberadaan Tenaga kerja di bawah umur telah memberikan kontribusi dalam
perekonomian. Namun disisi lain keberadaan Tenaga kerja di bawah umur justru
membatasi hak anak itu sendiri karena bekerja bukanlah kewajiban seorang anak.
Tenaga
kerja di bawah umur adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil yang
berusia kurang dari 17 tahun. Kebanyakan dari para Tenaga kerja di bawah umur
ini tidak sempat lagi menikmati masa bermain sebagaimana anak-anak yang lain.
Bekerja dimasa anak-anak, baik sebagai bagian dari proses sosialisasi maupun
sebagai akibat keterbatasan ekonomi keluarga, jelas telah menyebabkan anak-anak
itu kehilangan hak-hak mereka. Hak anak yang paling asasi, yaitu mengembangkan
identitas, belajar dan bermain. Sebenarnya Negara Indonesia juga telah
mengantisipasi tentang masalah Tenaga kerja di bawah umur ini. Larangan
ini terdapat dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
berlaku mulai tanggal 25 Maret 2003.
Tenaga
kerja di bawah umur adalah masalah sosial yang telah menjadi isu dan agenda
global bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data Organisasi
Buruh Internasional (ILO) menunjukkan, jumlah Tenaga kerja di bawah umur di
dunia mencapai sekitar 200 juta jiwa. Dari jumlah itu, 75 persen berada di Afrika, 7 persen di Amerika
Latin, dan 18 persen di Asia. Di
Indonesia, diperkirakan terdapat 2,4 juta pekerja anak. Angka yang tercatat
tersebut baru data anak jalanan, belum termasuk anak-anak yang terjun di sektor
industri[1].
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas terkait dengan apa
saya faktor yang menyebabkan adanya Tenaga kerja di bawah umur di bawah umur di
Indonesia, permasalahan yang dihadapi dan cara mengatasi permasalahan tersebut dengan merujuk pada referensi-referensi
jurnal penelitian dan buku mengenai Tenaga kerja di bawah umur di Bawah Umur
ini.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
- Apakah faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ?
- Apakah permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia ?
- Bagaimana cara mengatasi permasalahan tenaga
kerja di bawah umur di
Indonesia ?
1.3
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
- Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
- Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan
tenaga kerja di bawah umur di
Indonesia.
1.4
MANFAAT
PENULISAN
- Dapat
mengetahui
apa saja faktor yang menyebabkan adanya tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
- Dapat mengetahui permasalahan
yang dihadapi oleh tenaga kerja
di bawah umur di Indonesia.
- Dapat mengetahui cara mengatasi
permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tenaga Kerja Dibawah Umur
Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara
umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya,
untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar
waktu, dengan menerima imbalan atau tidak.
Menurut Tjandraningsih
(1995) Tenaga kerja di bawah umur adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan
secara rutin untuk orang tuanya atau untuk orang lain dengan membutuhkan
sejumlah besar waktu dengan menerima imbalan maupun tidak[2].
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 5 Tahun 2001 tentang
Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur Pasal 1, menyatakan bahwa Tenaga
kerja di bawah umur adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang
membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang, ayat
selanjutnya menyatakan bahwa Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur adalah
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi Tenaga
kerja di bawah umur berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh
buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
2.2 Perkembangan Tenaga kerja di bawah
umur Di Indonesia
Tren
kegiatan utama anak umur 15-17 tahun, menunjukkan bahwa selama Agustus 2013 –
Agustus 2015 proporsi yang bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah
tangga, atau kegiatan lainnya) selalu mengalami kenaikan. Di sisi lain,
proporsi mereka yang menjadi angkatan kerja
cenderung turun. Artinya, dari tahun ke tahun peluang anak-anak umur
15-17 tahun terlibat dalam kegiatan ekonomi di pasar kerja cenderung terus
menurun.
Meskipun
proporsinya cenderung selalu turun, namun anak- anak umur 15-17 tahun yang
telah terlibat dalam kegiatan ekonomi di pasar kerja (menjadi angkatan kerja)
tetap perlu mendapatkan perhatian. Hal ini berkaitan dengan target pemerintah
menuju Indonesia bebas Tenaga kerja di bawah umur pada tahun 2022.
Angkatan
Kerja
Anak
Umur 15-17 Tahun di Indonesia
Tahun 2013-2015
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2013
s.d Agustus 2015 Ctt: 2013*) Merupakan hasil backcasting dengan menggunakan penimbang hasil proyeksi penduduk tahun 2010‒2035.
Pada
Agustus 2015, anak umur 15-17 tahun yang telah bekerja jumlahnya mencapai 1,65
orang aatu sekitar 74,86 persen dari total angkatan kerja anak umur 15-17
tahun. Dibandingkan dengan Agustus 2014, jumlah tersebut turun sebanyak 448,45
ribu orang (21,41%). Sedangkan jika dibandingkan dengan Agustus 2013 turun
sebanyak 958,68 ribu orang (36,81%).
Sementara
itu, anak umur 15-17 tahun yang menganggur pada Agustus 2015 jumlahnya sebanyak
552,67 ribu orang atau sekitar 25,14 persen dari total angkatan kerja anak umur
15-17 tahun. Dibandingkan dengan Agustus 2014, jumlah tersebut turun sebanyak
167,92 ribu orang (23,31%). Sedangkan
jika dibandingkan dengan Agustus 2013 turun sebanyak 299,20 ribu orang (35,12%).
Dari
data di atas terlihat angkatan kerja anak umur 15-17 tahun, baik yang sudah
bekerja maupun yang masih menganggur, selama periode Agustus 2013 sampai dengan
Agustus 2015 jumlahnya selalu berkurang. Ini merupakan hal yang positif jika
penurunan jumlah angkatan kerja anak umur 15-17 tahun tersebut dibarengi dengan
peningkatan anak umur 15-17 tahun yang masih bersekolah.
Tabel
Estimasi Jumlah Tenaga kerja di bawah umur (15-17 tahun)
Berdasarkan Provinsi, Indonesia 2013-2015
Provinsi
|
Agustus
2013*
|
Agustus 2014
|
Agustus 2015
|
Aceh
|
5.085
|
5.471
|
5.610
|
Sumatera Utara
|
28.942
|
36.490
|
24.554
|
Sumatera Barat
|
4.943
|
7.448
|
7.186
|
Riau
|
13.969
|
12.522
|
12.600
|
Jambi
|
6.092
|
6.347
|
6.539
|
Sumatera
Selatan
|
15.933
|
17.025
|
14.657
|
Bengkulu
|
2.405
|
3.753
|
2.497
|
Lampung
|
22.145
|
24.313
|
19.721
|
Bangka-Belitung
|
3.691
|
4.609
|
3.337
|
Kepulauan Riau
|
4.112
|
4.188
|
1.329
|
DKI Jakarta
|
45.934
|
24.968
|
19.398
|
Jawa Barat
|
166.954
|
141.536
|
100.012
|
Jawa Tengah
|
82.121
|
110.938
|
92.333
|
D I Y
|
5.511
|
9.002
|
7.050
|
Jawa Timur
|
78.080
|
70.179
|
64.162
|
Banten
|
24.465
|
33.348
|
25.970
|
Bali
|
13.546
|
10.253
|
11.650
|
Nusa Tenggara
Barat
|
9.607
|
9.836
|
5.391
|
Nusa Tenggara Timur
|
11.862
|
9.041
|
8.222
|
Kalimantan
Barat
|
15.362
|
17.997
|
14.479
|
Kalimantan
Tengah
|
4.997
|
8.882
|
7.457
|
Kalimantan
Selatan
|
11.489
|
13.921
|
10.826
|
Kalimantan
Timur
|
8.308
|
6.514
|
3.705
|
Kalimantan
Utara
|
-
|
-
|
859
|
Sulawesi Utara
|
6.567
|
4.268
|
3.381
|
Sulawesi
Tengah
|
5.441
|
8.721
|
10.116
|
Sulawesi
Selatan
|
20.389
|
31.394
|
18.162
|
Sulawesi
Tenggara
|
6.744
|
4.296
|
5.783
|
Gorontalo
|
3.898
|
5.783
|
5.422
|
Sulawesi Barat
|
1.368
|
3.042
|
2.915
|
Maluku
|
2.422
|
2.865
|
3.171
|
Maluku Utara
|
3.561
|
1.424
|
1.256
|
Papua Barat
|
904
|
954
|
917
|
Papua
|
5.198
|
7.714
|
6.235
|
Total
|
642.045
|
659.042
|
526.902
|
Sumber:
BPS, Sakernas Agustus 2013 s.d Agustus 2015
Estimasi Jumlah Tenaga kerja di bawah umur Berdasarkan Tempat Tinggal di IndonesiaTahun 2013-2015
Sumber:
BPS, Sakernas Agustus 2013 s.d Agustus 2015
Estimasi Tenaga kerja di bawah umur (15-17 tahun) Berdasarkan Lapangan Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia (Agustus 2015)
Sumber: BPS,
Sakernas Agustus 2015
2.3
Regulasi terkait dengan Tenaga
kerja di Bawah umur di Indonesia
Indonesia adalah
salah satu negara
pertama yang terpilih
untuk ikut dalam Program
Penghapusan Buruh Anak-Anak Internasional (IPEC), dan menandatangani
sebuah nota kesepahaman dengan ILO pada 1992 untuk memimpin kerja sama di
bawah program ini. Pemerintah dan ILO menandatangani sebuah nota lain mengenai
buruh anak-anak pada Maret 1997 yang mengikat mereka dalam kesepakatan
untuk memajukan persyaratan yang memungkinkan pemerintah melindungi buruh anak-anak dan
secara bertahap melarang, membatasi dan mengatur buruh anak-anak
dengan tujuan akhir menghapuskannya. Pemerintah mengakui adanya golongan anak-anak yang harus
bekerja karena alasan
sosial-ekonomi, dan pada 1987 Menteri
Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah
peraturan, "Perlindungan bagi Anak-Anak
Yang Terpaksa Bekerja." Peraturan ini mengizinkan penggunaan
anak- anak di bawah usia 14 tahun yang terpaksa bekerja
untuk membantu pendapatan
keluarga mereka.
Peraturan
ini juga mewajibkan adanya izin orang-tua, melarang
pekerjaan yang berbahaya
dan berat, membatasi lama
kerja empat jam sehari, dan mewajibkan majikan untuk melaporkan jumlah
anak yang bekerja
di bawah ketentuan ini. Namun peraturan ini tidak
menetapkan usia minimum
untuk anak-anak dalam kategori ini, yang secara efektif
menggantikan ordinansi pemerintah
kolonial tahun 1925 tentang "Upaya Membatasi Buruh Anak-Anak dan Kerja Malam bagi Wanita" yang masih berlaku
sebagai undang-undang sampai sekarang tentang buruh anak-anak
dan yang menetapkan batas usia kerja minium 12 tahun. Peraturan
tahun 1987 itu tidak diberlakukan. Belum ada majikan yang diajukan ke pengadilan atas pelanggaran terhadap peraturan tentang hakikat
pekerjaan anak-anak, dan belum ada
laporan yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak-anak.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan
Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tanggal 8 Januari 2001 Tentang Penanggulangan
Pekerja Anak, Dasar hukum terkait
dengan pekerja di bawah umur ini yakni :
1.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
2.
Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Tahun
1989
3.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.4
Faktor
yang
menyebabkan adanya tenaga
kerja di bawah umur di Indonesia
Grafik
Perbandingan jumlah Angkatan kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Indonesia Tahun
2014-2016
Sumber : Pusat data dan informasi
ketenagakerjaan Kementerian ketenagakerjaan Tahun 2016
Berdasarkan Penelitian Pusat Data Dan
Informasi Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Dan Pengembangan Ketenagakerjaan
Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2016, ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya
Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia yakni :
1.
Faktor Kemiskinan dan Ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab utama
timbulnya Tenaga kerja di bawah umur disamping faktor ekonomi lainnya.
Ketidakmampuan ekonomi keluarga berpengaruh pada produktifitas kerja menjadi
rendah, gizi kurang, perawatan kesehatan kurang sehingga hal ini mengakibatkan
berkurangnya kapasitas kerja, cepat lelah, rentan terhadap kecelakaan dan
penyakit. Penghasilan orang tua yang rendah, menyebabkan anak terpaksa
mengikuti jejak orang tuanya untuk bekerja meskipun tanpa mempunyai bekal
ketrampilan. Faktor kemiskinan dianggap sebagai pendorong utama anak untuk
bekerja.
Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan
terjadinya pekerja anak. Orang tua ‘terpaksa’ memobilisasi anak-anaknya sebagai
pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan,
sebab anak-anak bisa berubah peran dari ‘sekadar membantu’ menjadi pencari
nafkah utama. Tenaga kerja di bawah umur tidak hanya disebabkan oleh
kemiskinan, tetapi juga menyebabkan ‘pemiskinan’, artinya anak-anak yang
bekerja dan tidak mengecap pendidikan akan tetap hidup di dalam kondisi
kemiskinan di kemudian hari. Akibat lebih jauh, generasi berikutnya akan tetap
miskin dan tidak berpendidikan (Tadjhoedin, 1992: 68).
2.
Faktor Budaya
Beberapa faktor budaya yang memberi kontribusi terhadap
peningkatan jumlah Tenaga kerja di bawah umur antara lain:
a.
Peran perempuan dalam keluarga.
Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat
perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan
seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga.
Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk
bekerja aga dapat membantu keluarga mereka. Pada masyarakat desa yang masih
tertekan oleh adat-istiadat menganggap bahwa perempuan dapat dinikahkan
secepatnya ketika sudah dianggap cukup waktunya, walaupun belum matang secara
psikis maupun fisik. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak perempuan yang
masih di bawah umur menanggung beban layaknya perempuan dewasa sebagai istri.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, perempuan juga sering diakui sebagi
pencari nafkah pelengkap bagi keluarga. Ada dua variable sekaligus disini, anak
perempuan yang masih di bawah umur di eksploitasi untuk berlaku layaknya
perempuan dewasa sebagi seorang istri dan membantu tambahan nafkah bagi
keluarga.
b.
Perkawinan dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi
para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan
ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga
perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap
sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafikin disebabkan oleh kerapuhan
ekonomi mereka.
c.
Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi
pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima
oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang
khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi
yang mirip dengan perbudakan.
d.
Peran anak dalam keluarga
Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk
membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja
anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang
dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk
dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
3.
Faktor Pendidikan
Berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, adanya
keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orangtua mengambil jalan pintas
agar anaknya berhenti sekolah da lebih baik bekerja dengan alasan:
a.
Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
b.
Biaya pendidikan mahal.
c.
Sekolah tinggi akhirnya jadi penganggur.
Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan
ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya
sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat
meningkatkan kesejahteraan anak dimasa datang. Situasi tersebut yang mendorong
anak untuk memilih menjadi pekerja anak.
4.
Faktor migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan
penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak. Hal ini disebabkan
beberapa faktor antara lain:
a.
Penduduk desa kebanyakan bahwa kota memiliki banyak
pekerjaaan dan lebih mudah mendapatkan penghasilan. Hal ini karena sirkulasi
uang di kota jauh lebih cepat dan lebih banyak, sehingga relatif lebih mudah
mendapatkan uang daripada di desa.
b.
Usaha untuk mempekerjaan yang lebih sesuai dengan
pendidikan, sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif untuk mengangkat posisi
sosial.
c.
Bagi beberapa kelompok, kota memberikan kesempatan
untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat.
d.
Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan
usaha kerajinan rumah menjadi kerajinan industri. Hal ini karena kota terdapat
banyak sarana yang mendukung usaha tersebut.
e.
Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa.
f.
Kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk
mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
g.
Beberapa penyebab meningkatnya jumlah Tenaga kerja di
bawah umur terhadap faktor migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa
ketidakpahaman mengenai urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa oknum
untuk menjebak (khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di
sewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
5.
Lemahnya Pengawasan dan Terbatasnya Institusi untuk
Rehabilitasi
Adanya peraturan untuk melakukan perlindungan Tenaga kerja
di bawah umur tidak diimbangi dengan pelaksaan dari aturan tersebut. Sehingga
sangat dimungkinkan banyak sekali masalah-masalah yang timbul pada Tenaga kerja
di bawah umur yang tidak bisa terselesaikan oleh aparat penegak hukum.
Disamping itu, di Indonesia masih sangat kurang sekali lembaga-lembaga yang
bisa melakukan rehabilitasi terhadap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan
wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial khususnya anak yang mempunyai
masalah, antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak
terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak
cacat.
2.5
Permasalahan
yang di hadapi oleh tenaga kerja di bawah umur
di Indonesia
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Himpunan Kesejahteraan Anak Indonesia pada 2010
menemukan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Tenaga kerja di bawah umur di
Indonesia yakni[3]
:
1. Waktu Kerja yang lama
Sebanyak
1,92 juta anak-anak berumur antara 10 dan 14 tahun bekerja paling tidak 4 jam
sehari. Angka itu diyakini sudah lebih tinggi lagi akibat krisis ekonomi 1998.
Meskipun data tidak tersedia, masyarakat luas sepakat bahwa sekitar 2 juta
anak-anak bekerja paling tidak empat jam sehari.
Walaupun Undang- undang Ketenagakerjaan tahun 1997 menyatakan bahwa remaja
(antara 15 dan 17 tahun) tidak boleh bekerja pada jam-jam tertentu di malam
hari, di
bawah tanah, di pertambangan, atau pada pekerjaan yang bisa memberi
dampak negatif pada moral, seperti di tempat-tempat hiburan namun di Indonesia masih terdapat kejadian berupa
kekerasaan kepada Tenaga kerja di bawah umur apabila tidak dapat menyelesaikan
tugasnya secara tepat waktu atau tidak menuruti tugas yang diberikan kepadanya.
2. Pemalsuan
data
Jumlah
keseluruhan anak-anak di Indonesia yang bekerja lebih dari 8,5% dikarenakan
dokumen tentang usia anak-anak mudah sekali dipalsukan dan karena anak-anak di bawah 10 tahun tidak disertakan dalam
survei itu.
- Upah
minimum
Dikarenakan umur mereka yang tidak termasuk dalam
angkatan kerja, maka upah yang diterima mereka pun tidak sesuai dengan UMK atau
upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tentu hal ini membuat Tenaga kerja
di bawah umur mendapatkan upah dengan jumlah yang sangat sedikit.
Banyak
pembantu rumah tangga adalah wanita di bawah usia 15 tahun. Meskipun angka yang
tepat tidak tersedia, diperkirakan jumlah pembantu rumah tangga anak-anak
mencapai 1,5 juta. Para pengamat sepakat bahwa jumlah ini naik pada 1998
sebagai akibat dari krisis ekonomi. Sebuah survei yang dilakukan pada 1995
mengungkapkan bahwa jam kerja anak-anak ini panjang, upah mereka kecil dan
mereka sering tidak sadar akan hak mereka serta sering jauh dari keluarga.
- Kekerasaan
dalam bekerja
Di
sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau
cara lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti
menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di jermal ikan
dan kapal nelayan. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan bahwa pada tahun 2001,
3.200 anak-anak bekerja di jermal-jermal lepas pantai, sering dalam kondisi
yang mengenaskan.
- Tidak
adanya jaminan kerja
Banyak
sekali anak-anak yang bekerja di industri formal seperti pabrik kecil, terutama
pabrik yang merupakan "satelit" bagi industri besar. Namun, jumlahnya
tidak diketahui dikarenakan dokumen yang membuktikan usia mereka mudah
dipalsukan. Karena data yang dipalsukan iniilah, mereka tidak mendapatkan
jaminan kerja atas resiko atau kecelakaan kerja yang dialaminya. Banyak
terdapat industri-industri ini yang memperkerjakan anak-anak ini hingga sampai
melukai anggota tubuh mereka seperti masuknya jari tangan mereka ke mesin
produksi.
2.6 Cara
mengatasi
permasalahan tenaga kerja di bawah umur di Indonesia
Upaya
penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur perlu dilakukan secara terpadu antar
sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur merupakan
dilema pemerintah ingin melarang Tenaga kerja di bawah umur dan mengharapkan
semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah. Sementara
di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih
banyak keluarga miskin, sehingga mengijinkan anak-anak terpaksa harus bekerja.
(Sumber :
Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Tahun 2016)
Bagi
anak-anak yang terpaksa karena alasan sosial - ekonomi, dalam upaya menambah
pendapatan keluarga, maka pada tahun 1987 Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan,
"Perlindungan bagi Anak-Anak Yang Terpaksa Bekerja". Dalam ketentuan
ini pemerintah mengijinkan penggunaan anak-anak di bawah usia 14 tahun dengan
mewajibkan adanya izin orang-tua dan melarang pekerjaan yang berbahaya, serta
pekerjaan berat dan membatasi lama kerja empat jam sehari. Di samping itu,
pengusaha wajib melaporkan jumlah anak yang bekerja di bawah ketentuan
tersebut.
Perlindungan
dari sisi penawaran dilaksanakan melalui program lintas sektor yang dimaksudkan
untuk membatasi Tenaga kerja di bawah umur dari sumber atau institusi yang
melahirkan Tenaga kerja di bawah umur dengan melalui tindakan preventif.
Program-program aksi antara lain Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Tabungan Keluarga Sejahtera, Kredit
Usaha Keluarga Sejahtera, Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif, Kemitraan Dalam
Berusaha, Gerakan Wajib Belajar, Gerakan Nasional Orangtua Asuh.
Dari
sisi permintaan, upaya penanggulangan Tenaga kerja di bawah umur dilakukan
melalui industri atau perusahaan yang mempekerjakan anak. Ditengarai masih ada
perusahaan yang mempekerjakan anak karena beberapa hal antara lain upah yang
lebih murah, biaya produksi lebih sedikit, usia mereka relatif muda sehingga
sangat mudah diatur, tidak banyak menuntut seperti pekerja dewasa.
Pemecahan
masalah tenaga kerja di bawah umur selanjutnya dapat dilakukan dengan cara
pendekatan yang bersifat client centered (berpusat
pada klien/pekerja anak) yakni pendekatan manajemen kasus. Dalam pendekatan
manajemen kasus ada langkah-langkah yang bisa
dilakukan yaitu sebagai berikut[4]
:
1.
Penggalian kebutuhan.
Tahap
ini dilakukan untuk mengenal dan memahami kebutuhan pekerja anak. Di samping itu digali pula tentang
kemampuan anak dan kelompok terdekatnya
(keluarga atau teman sebaya) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan
kebutuhan emosionalnya. Di samping
itu juga dilakukan upaya untuk menggali sumber daya lembaga formal (sekolah,
lembaga sosial dan lain-lain) untuk mengidentifikasi bantuan yang dapat
diberikan kepada Tenaga kerja di bawah umur tersebut.
2.
Perencanaan pelayanan.
Untuk
tahap ini dibentuk tim penanganan
kasus yang terdiri dari berbagai profesi/lembaga yang terkait sesuai dengan
masalah yang dihadapi pekerja anak.
3.
Pengadaan pelayanan.
Tahap
ini merupakan tahap implementasi dengan cara menghubungkan Tenaga kerja di
bawah umur dengan pihak- pihak yang berkompeten untuk mendapatkan pelayanan.
4.
Pemantauan.
Hal
ini perlu dilakukan secara terus- menerus agar dapat diketahui perkembangan
kemajuan klien (pekerja anak), dan pelayanan yang diberikan tidak terputus di
tengah jalan.
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas penulis memberikan
simpulan terkait dengan permasalahan tenaga kerja di bawah umur ini yakni permasalahan Tenaga kerja di bawah umur di
Indonesia akan semakin pelik jika dibiarkan saja. Semakin hari semakin
meningkat jumlah anak yang menjadi pekerja,jika tidak dilindungi oleh
undang-undang, maka semakin besar pula peluang pengekploitasian hak asasi anak
dan memperbesar angkakemiskinan penduduk di Indonesia. Banyak penyebab anak
sebagai pekerja, salah satu yang paling mendasar adalah alasan kebutuhan
sosial-ekonomi. Tenaga kerja di bawah umur tersebar pada beberapa sektor baik
formal maupun informal dengan tingkat pendapatan rendah dan perlindungan
ketenagakerjaan yang tidak pasti.
Untuk mengatasi masalah
pekerja anak, seyogianya Pemerintah harus dengan tegas menjalankan peraturan
yang sudah ditetapkan terkait dengan tenaga kerja dibawah umur, Pemerintah
melakukan perlindungan dengan tindakan preventif dan Pemerintah
membuat/memperbaiki program yang sudah di canangkan untuk mengurangi jumlah
pekerja anak.
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan diatas penulis memberikan
saran terkait dengan permasalahan tenaga kerja di bawah umur ini yakni untuk mengatasi
semakin maraknya Tenaga kerja di bawah umur di Indonesia yang harus dilakukan
oleh Pemerintah adalah melakukan
perlindungan dengan tindakan preventif, selain itu Pemerintah juga harus
membuat/memperbaiki program yang sudah di canangkan untuk mengurangi jumlah Tenaga
kerja di bawah umur di Indonesia ini seperti program yang sudah di canangkan
yakni Program Keluarga Harapan untuk lebih di masifkan dalam pelaksanaanya
serta Pemerintah harus menindak tegas Oknum atau perusahaan yang melanggar
peraturan yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nandi.
2006. Tenaga kerja di bawah umur Dan
Permasalahannya. Bandung:
Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan Geografi
Vol. 6, No.2
Subri, Mulyadi.2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia (Dalam
Perspektif
Pembangunan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pusat Data Dan Informasi Ketenagakerjaan Badan
Perencanaan dan
Pengembangan
Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2016
Keputusan
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001
Tanggal 8 Januari 2001 Tentang
Penanggulangan Pekerja Anak.
[1] Nandi.
2006. Pekerja Anak Dan Permasalahannya.
Bandung: Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan
Geografi Vol. 6, No.2. hlm. 1
[2] Subri, Mulyadi.2003.Ekonomi Sumber Daya Manusia (Dalam
Perspektif Pembangunan).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.67
[3] Nandi.
2006. Pekerja Anak Dan Permasalahannya.
Bandung: Jurnal “Gea” Jurusan Pendidikan
Geografi Vol. 6, No.2. hlm. 5-6
[4] Ibid.
hlm.7-8