RUU PRIORITAS PROLEGNAS 2017
“PEMBAHASAN RUU KITAB
HUKUM PEMILU”
URGENSI
Tata kelola pemilu sebagai subkajian pemilu
terdiri atas empat aspek : peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu,
proses penyelenggaraan pemilu, badan penyelenggaraan pemilu, dan sistem
penegakan hukum pemilu. Dari keempat aspek, aspek pertama (hukum pemilu)
merupakan aspek paling penting karena lima alasan. Prosedur yang digunakan
untuk setiap tahapan pemilu harus memenuhi dua syarat: sesuai asas-asas pemilu
demokratis dan mengandung kepastian hukum. Pemilu berkualitas dapat dicapai
bila terdapat partisipasi warga negara sebagai anggota partai, pemilih,
konstituen, dan pembayar pajak. Partisipasi ini perlu diatur secara lengkap
akses dan salurannya di peraturan perundang-undangan.
Rakyat akan menerima hasil pemilu sebagai
berlegitimasi secara politik dan hukum tak hanya bila hasil pemilu
berintegritas (bukan hasil manipulasi, tetapi hasil penghitungan jujur). Untuk
menjamin ini, perlu peraturan perundang-undangan yang mengatur dua hal.
Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur lengkap ketentuan
administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu yang dapat tuntas ditegakkan
beberapa hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu. Kedua,
peraturan perundangan yang mengatur satu atau dua institusi dan mekanisme
penegakan ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu.
Untuk menjamin pengaturan pemilu yang
memenuhi kedua syarat, diperlukan kodifikasi empat UU mengenai pemilu menjadi
satu Kitab Hukum Pemilu berdasarkan asas, tujuan, parameter, dan sistematika
tertentu. Mengingat lingkup cakupan keempat UU mengenai pemilu itu begitu luas,
apakah keempatnya dapat diintegrasikan menjadi satu Kitab Hukum Pemilu. Keenam
aspek yang sama adalah asas pemilu, daftar pemilih, proses penyelenggaraan
tahapan pemilu, parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pola partisipasi
politik warga negara, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa
pemilu.
Kodifikasi atau Kitab
Hukum Pemilu diperlukan untuk Pengaturan setiap jenis pemilu dengan UU
tersendiri menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam bentuk kontradiksi dan
duplikasi antar-UU maupun perumusan berbagai aspek proses penyelenggaraan
pemilu yang tanpa standardisasi dalam nomenklatur dan lingkup pengertian.
Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan
Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu
serentak tahun 2019 melalui RUU
Kitab Hukum Pemilu yang perlu sesegera mungkin mulai disusun, maka perlu
dikaji kembali apakah benar MK dalam Putusan
MK No 22-24/PUUVI/2008 mewajibkan penggunaan sistem urutan suara
terbanyak? Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan
MK? Sejatinya, Putusan MK No
22-24/PUUVI/2008 memiliki amar yang pada pokoknya menyatakan bahwa
Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Hal yang
seharusnya menjadi perhatian utama dalam hal kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019
adalah mengenai pencalonan pasangan
presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan
calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme
dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam
putusannya tidak menegaskan bahwa semua partai politik
peserta pemilu langsung dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya
memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden serta Pemilu.
Untuk menjamin agar UU Pemilu tidak saja dirumuskan
berdasarkan empat prinsip demokrasi (hak-hak politik warga negara yang
berkaitan dengan Pemilu, Asas-asas Pemilu Demokratik, Pemilu yang
Berintegritas, dan Pemilu yang Berkeadilan) tetapi juga memiliki kepastian
hukum. Hukum Pemilu dan Kepastian Hukum dalam pengaturan Pemilu merupakan hal
yang sangat esensial dalam proses penyelenggaraan Pemilu sehingga menjadi salah
satu indikator Pemilu yang Demokratik. Hukum pemilu dan Kepastian hukum dalam
Pemilu dipandang penting karena empat sebab. Pertama, dari satu segi Pemilihan
Umum dapat dirumuskan sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar
pasangan calon untuk memperebutkan hal yang sama, yaitu kursi penyelenggara
negara. Karena jumlah jabatan yang diperebutkan sangat terbatas dibandingkan
dengan jumlah yang mengejarnya (jumlah jabatan lebih sedikit daripada pihak
yang hendak memperebutkannya), dan berbagai pihak yang terlibat dalam
persaingan itu memandang jabatan itu sebagai amat sangat penting, maka Pemilu
sebagai persaingan (konflik politik) akan cenderung berlangsung ketat dan
keras.
Untuk mencegah kekerasan dalam persaingan tersebut,
dan terutama juga untuk menjamin persaingan yang bebas dan adil diantara
Peserta Pemilu atau antar pasangan calon, maka diperlukan hukum Pemilu yang
berisi penjabaran empat prinsip Pemilu demokratik (hak-hak politik warga negara
yang berkaitan dengan Pemilu, Pemilu Berintegritas, dan Pemilu yang
Berkeadilan). Pemilu sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar
pasangan calon yang diatur dengan hukum Pemilu seperti inilah yang acapkali
disebut sebagai konflik politik yang dilembagakan.
SUBSTANSI
UU Kitab Hukum Pemilu
adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/ mengompilasikan berbagai UU yang
terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu
naskah bersama ini pun didasari atas Putusan
MK No 14/PUU-XI/2013 yang
memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak.
Memaknai Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 untuk
Pemilu Serentak 2019 sistem Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memang perlu
dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara
tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata masih menimbulkan banyak
masalah.Sehingga kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019 apakah masih tetap
menggunakan sistem proporsional terbuka atau kembali ke sistem proporsional
tertutup.
Untuk menciptakan sistem politik demokrasi yang pada gilirannya
menghasilkan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif,
maka harus ada beberapa aspek dalam Pemilu dan penyelenggaraan Pemilu untuk dituangkan
menjadi RUU Pemilu yang mencakup asas-asas pemilihan umum, sistem pemilihan
umum, proses penyelenggaraan Pemilu, para aktor utama yang berperan dalam
penyelenggaraan Pemilu, pola partisipasi masyarakat dalam Pemilu, dan sistem
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu.
Asas-asas Pemilu
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945
terdapat enam asas pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil. Akan tetapi semua undang-undang yang mengatur pemilihan umum di
Indnesia (dan juga negara demokrasi lainnya) menambah dua asas lagi, yaitu asas
transparansi dan akuntabilitas yang merupakan dua indikator Pemilu yang Berintegritas.
Berikut merupakan penjelasan singkat setiap asas, sedangkan penerapannya dalam
proses penyelenggaaan Pemilu akan dikemukakan pada setiap tahapan Pemilu yang
relevan. Selain kedelapan asas ini juga diperlukan sejumlah prinsip demokrasi
lainnya. Selain kepastian hukum, prinsip lain yang harus menuntun perumusan
undang-undang tentang pemilihan umum adalah hak-hak politik warga negara yang
berkaitan dengan Pemilu (electoral right principles), integritas Pemilu
(electoral integrity), dan keadilan Pemilu (electoral justice). Kedelapan asas
Pemilu demokratik itu bersama dengan ketiga prinsip terakhir ini tidak saja
akan menjadi penuntun perumusan proses penyelenggaraan Pemilu tetapi juga
menjadi parameter mengukur Pemilu demokratik.
Asas umum (universal suffrage) merupakan asas yang
pertama yang menyatakan setiap warga negara yang telah mencapai umur 17 tahun
atau lebih atau sudah/pernah kawin, berhak memilih. Faktor jenis kelamin, suku,
agama, ras, status Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia
ekonomi, latar belakang keturunan, kasta, pekerjaan, tingkat pendidikan,
kondisi kesehatan pisik dan mental, pemukiman, status hukum, dan tempat tinggal
tidak boleh membatasi hak pilih seseorang. Asas bebas mempunyai arti pemilihlah
yang menentukan siapa atau partai apa yang akan dipilih tanpa tekanan, paksaan
atau ancaman dalam bentuk apapun dari siapun juga. Asas langsung berarti
pemilih sendirilah yang memberikan suaranya tanpa perantara siapapun. Asas
rahasia berarti tidak ada seorangpun juga yang dapat mengetahui siapa atau
partai apa yang dipilih.
Asas jujur mempunyai dua arti: pemilih memberikan
suara karena pilihan sendiri bukan karena disuap dengan sembako dan/atau uang;
dan penyelenggara dan pelaksana Pemilu mengidentifikasi pilihan pemilih dan
menghitung suara pemilih tanpa manipulasi baik sengaja maupun tidak disengaja.
Asas adil mempunyai dua arti: setiap pemilih mempunyai hak satu suara dan
bernilai setara dan karena itu seorang pemilih dilarang memberikan suara lebih
dari satu kali baik di TPS yang sama maupun di TPS yang berbeda; dan
penyelenggara dan pelaksana Pemilu memperlakukan setiap pemilih dan peserta
Pemilu secara setara. Asas transparansi berarti masyarakat dapat melihat,
mendengar dan membaca apa yang dikerjakan oleh penyelenggara dan pelaksana
Pemilu. Dan asas akuntabel berarti penyelenggara dan pelaksana Pemilu wajib
menjelaskan apa yang dikerjakan dan wajib menjawab pertanyaan dan keberatan
pemilih, saksi, dan unsur masyarakat lainnya. Penerapan kedelapan asas ini
secara konkrit paling tampak pada pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara TPS di berbagai tingkatan.
Sistem Pemilihan Umum
Berikut akan dikemukakan rekomendasi untuk sistem pemilihan umum anggota DPR
dan DPRD, sistem pemiihan umum anggota DPD, sistem pemilihan umum presiden dan
wakil presiden, dan sistem pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Sistem
Pemilu Anggota DPR dan DPRD
Sistem Pemilu yang diusulkan untuk memilih anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Sistem Pemilu Proporsional
Daftar Calon Partai yang Ditetapkan secara Demokratis. Pasal 22E ayat (3) UUD
1945 menetapkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia partai
politik sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, partai politiklah
yang:
(a) berkompetisi
dalam Pemilu Anggota DPR dan DPRD untuk mendapatkan simpati
dan kepercayaan dari pemilih;
(b) menetapkan
daftar calon;
(c) menentukan
Visi, Misi dan Program Partai sebagai materi kampanye Pemilu;
(d) mengkoordinasi
pelaksanaan kampanye Pemilu berdasarkan strategi dan metode yang ditetapkan
sendiri;
(e) dipilih
oleh pemilih dalam pemungutan suara;
(f) berhak
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan keputusan KPU tentang Hasil Pemilu bila memiliki bukti
pendukung;
membatalkan keputusan KPU tentang Hasil Pemilu bila memiliki bukti
pendukung;
(g) memiliki
kursi di DPR dan DPRD (bila berhasil mencapai jumlah suara
yang ditentukan) sedangkan calon yang ditetapkan sebagai anggota DPR
dan DPRD adalah pengisi kursi partai; dan
yang ditentukan) sedangkan calon yang ditetapkan sebagai anggota DPR
dan DPRD adalah pengisi kursi partai; dan
(h) mempertanggung-jawabkan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye
Pemilu.
Pemilu.
Dengan peran Partai sebagai Peserta Pemilu seperti
ini, sistem pemilihan umum tidaklah bisa lain selain Sistem Pemilu Proporsional
dengan Daftar Calon Partai yang ditentukan secara demokratis. Rincian setiap
unsur Sistem Pemilu Proporsional Daftar Partai yang Ditentukan secara
Demokratis adalah sebagai berikut. Jumlah anggota DPR tetap sebanyak 560 kursi.
Jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan jumlah anggota DPRD Provinsi berdasarkan
jumlah penduduk mengikuti apa yang ditetapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2012
karena sudah menjamin keterwakilan yang kurang lebih setara seluruh Indonesia.
Alokasi kursi DPR kepada semua provinsi di Indonesia tidak mungkin berdasarkan
prinsip kesetaraan antar warga negara alias ‘satu orang, satu suara dan satu
nilai’ (equal representation) selama kedudukan DPD belum setara dengan DPR.
Pembagian kursi DPR kepada semua provinsi baru dapat dilakukan berdasarkan
jumlah penduduk apabila DPD mempunyai kewenangan membuat Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia undang-undang yang menyangkut
kepentingan daerah. Hal ini hanya mungkin bila dilakukan Perubahan UUD mengenai
kedudukan DPD dalam pembuatan undangundang yang menyangkut kepentingan daerah.
Bila perubahan seperti ini dalam waktu dekat belum
memungkinkan, maka harus diajukan alternatif lain untuk alokasi kursi DPR
kepada provinsi selain yang dilaksanakan sejak Pemilu 2004, 2009 dan 2014.
Sebagaimana dikemukakan pada Bab 2, alokasi kursi DPR sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran UU Nomor 8 Tahun 2012 sangat tidak adil, bahkan lebih buruk
daripada alokasi kursi DPR pada Pemilu 2004. Berikut adalah alternatif kriteria
alokasi kursi DPR kepada provinsi yang dipandang lebih adil daripada alokasi
kursi yang berlaku pada tiga kali Pemilu terakhir. Alternatif yang ditawarkan
ini akan menciptakan kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Pulau Jawa, dan
kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi ‘harga’
satu kursi DPR di provinsi wilayah Pulau Jawa akan lebih ‘mahal’ daripada harga
satu kursi DPR di provinsi wilayah Luar Pulau Jawa. Jelas situasi ini tidak
ideal karena belum menjamin kesetaraan antar warga negara Indonesia yang
tinggal di Pulau Jawa dengan yang tinggal di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi
‘keadaan yang tidak ideal’ ini masih jauh lebih baik daripada yang terjadi
sekarang di mana harga satu kursi DPR di sejumlah provinsi di Luar Pulau Jawa
lebih mahal daripada harga satu kursi di semua provinsi di wilayah Pulau Jawa,
dan provinsi yang memiliki kursi terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah
penduduk (over representation) dan provinsi yang mendapat kursi lebih sedikit
bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya (under representation) keduanya
berada di Luar Pulau Jawa. Kriteria yang digunakan untuk alokasi kursi DPR
kepada semua provinsi adalah sebagai berikut:
(a) Kursi
DPR dibagi dua: 280 kursi DPR untuk provinsi di Pulau Jawa dan 280 kursi DPR
untuk provinsi di Luar Pulau Jawa;
(b) Untuk
menjamin kesetaraan antar provinsi, setiap provinsi mendapat alokasi kursi
sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi sedangkan tambahan alokasi
berikutnya disesuaikan dengan jumlah penduduk setiap provinsi; Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
berikutnya disesuaikan dengan jumlah penduduk setiap provinsi; Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
(c) Sebanyak
280 kursi DPR akan dialokasikan kepada 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa
berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan salah satu metode apportionment
yang dianggap paling proporsional;
(d) Di
Luar Pulau Jawa terdapat 3 (tiga) provinsi yang dari segi jumlah penduduk hanya
akan memperoleh 1 (satu) atau 2 (dua) kursi, yaitu Provinsi Kalimantan
Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Gorontalo. Dari segi jumlah
penduduk ketiga provinsi ini tidak cukup untuk mendapatkan 3 (tiga) kursi.80
Akan tetapi untuk menjamin kesetaraan provinsi, masing-masing provinsi
tersebut dijamin mendapat alokasi 3 (tuga) kursi.
Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Gorontalo. Dari segi jumlah
penduduk ketiga provinsi ini tidak cukup untuk mendapatkan 3 (tiga) kursi.80
Akan tetapi untuk menjamin kesetaraan provinsi, masing-masing provinsi
tersebut dijamin mendapat alokasi 3 (tuga) kursi.
(e) Sebanyak
280 kursi DPR untuk provinsi Luar Pulau Jawa dikurangi 9
(sembilan) kursi (Gorontalo 3 kursi, Papua Barat 3 kursi dan Kalimantan
Utara 3 kursi). Sisanya sebanyak 271 kursi ini dialokasikan kepada 25 provinsi
lainnya berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan metode
apportionment yang dipandang paling proporsional (Kuota, Jefferson atau
Webster).
(sembilan) kursi (Gorontalo 3 kursi, Papua Barat 3 kursi dan Kalimantan
Utara 3 kursi). Sisanya sebanyak 271 kursi ini dialokasikan kepada 25 provinsi
lainnya berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan metode
apportionment yang dipandang paling proporsional (Kuota, Jefferson atau
Webster).
(f) Jumlah
penduduk yang digunakan hendaklah yang akurat dan bebas dari
kepentingan politik sepihak. Yang lebih memenuhi kedua syarat ini adalah
data hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Karena alokasi kursi DPR ini dimaksudkan untuk Pemilu 2019, maka data
penduduk yang harus digunakan adalah hasil Sensus Penduduk 2010 yang
disesuaikan dengan rata-rata tingkat pertambahan penduduk untuk Tahun
2019.
kepentingan politik sepihak. Yang lebih memenuhi kedua syarat ini adalah
data hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Karena alokasi kursi DPR ini dimaksudkan untuk Pemilu 2019, maka data
penduduk yang harus digunakan adalah hasil Sensus Penduduk 2010 yang
disesuaikan dengan rata-rata tingkat pertambahan penduduk untuk Tahun
2019.
(g) Yang
melakukan alokasi kursi berdasarkan kriteria ini dan yang melakukan
pembentukan Daerah Pemilihan berdasarkan sejumlah prinsip yang
ditetapkan dalam Undang-Undang hendaklah lembaga yang independen.
KPU merupakan lembaga yang tepat melaksanakan tugas ini baik untuk alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR maupun alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.
pembentukan Daerah Pemilihan berdasarkan sejumlah prinsip yang
ditetapkan dalam Undang-Undang hendaklah lembaga yang independen.
KPU merupakan lembaga yang tepat melaksanakan tugas ini baik untuk alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR maupun alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.
(h) Sebelum
menetapkannya sebagai Keputusan KPU, draft alokasi kursi dan
draft Dapil tersebut wajib dikonsultasikan secara terbuka dengan publik
sehingga tidak saja semua pemangku kepentingan memahami kedua hal itu
tetapi juga ikut berpartisipasi memperbaiki bila terjadi kekeliruan.
draft Dapil tersebut wajib dikonsultasikan secara terbuka dengan publik
sehingga tidak saja semua pemangku kepentingan memahami kedua hal itu
tetapi juga ikut berpartisipasi memperbaiki bila terjadi kekeliruan.
Proses Penyelenggaran
Pemilu
Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Pemilu
(Electoral Manajement Body) adalah lembaga yang dibentuk khusus untuk
menyelenggarakan kegiatan esensial pemilihan umum, seperti penetapan daftar
pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu, pendaftaran dan penetapan
calon, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil Pemilu dan
penetapan calon terpilih. Dalam pengertian ini yang dapat dikategorikan sebagai
Badan Penyelenggara Pemilu diIndonesia hanyalah Komisi Pemilihan Umum. Badan
Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak dapat
dikategorikan sebagai Badan Penyelenggara Pemilu tetapi kedua lembaga itu
memiliki peran sangat penting dalam Pemilu.
Para
Aktor Utama Yang Berperan Dalam Penyelenggaraan Pemilu
Yang
dimaksud dengan para akror utama Pemilu di sini adalah Peserta Pemilu dan
Calon, Penyelenggara Pemilu dan Panitia Pemungutan Suara, dan Partisipasi Warga
Masyarakat. Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Partai Politik. Peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan. Peserta
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Peserta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah perseorangan.
Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
Tugas pengawasan terhadap proses
penyelenggaraan Pemilu dikembalikan kepada masyarakat sebagai bagian dari
partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu.
Unsur masyarakat yang dimaksud di sini adalah pemilih, kelompok relawan,
pemantau Pemilu, LSM, lembaga survey, partai politik Peserta Pemilu, dan media
massa. Para mahasiswa dalam rangka KKN ataupun proses pembelajaran juga dapat
melibatkan diri dalam proses pengawasan atas Pemilu. Termasuk Untuk mendorong
dan memfasilitasi pengawasan Pemilu dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu,
Pemerintah dan DPR perlu menyediakan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
Pemilu. Dana ini akan dialokasikan untuk kegiatan pemantauan Pemilu, pendidikan
pemilih, dan pelaporan atas dugaan pelanggaran Peraturan Pemilu yang dilakukan
oleh berbagai unsur masyarakat.
Untuk mengelola Dana Partisipasi Masyarakat
dalam Pemilu ini Presiden perlu membentuk Komisi yang beranggotakan dari
berbagai kalangan, seperti Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi yang mendalami
Pemilu, Sekto Swasta, dan kalangan professional lain. Tugas Komisi ini
merumuskan kriteria dan mekanisme kalangan masyarakat memperoleh dana tersebut.
Tujuan utama partisipasi
berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan tahapan Pemilu adalah
memastikan agar proses penyelenggaraan Pemilu sebagai mekanisme pendelegasian
sebagian kedaulatan rakyat kepada Peserta Pemilu berlangsung sesuai dengan
asas-asas Pemilu yang demoktratis, dan memastikan agar hasil Pemilu yang
ditetapkan dan diumumkan oleh KPU sesuai dengan suara yang disampaikan pemilih
di TPS. Tujuan lain adalah memastikan agar pemilih memberikan suara pada Pemilu
secara cerdas berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat.Karena itu bentuk
partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam
proses penyelenggaraan Pemilu bukan hanya pemantauan dan pengawasan
tetapi juga berbagai bentuk kegiatan lain sebagai berikut:
1.
Melaksanakan Sosialisasi Pemilu.
2.
Melaksanakan Pendidikan Pemilih.
3.
Memberikan Suara sebagai Pemilih.
4.
Menulis atau Menyiarkan Berita tentang Pemilu.
5.
Mendukung Peserta Pemilu/Calon tertentu.
6.
Mengorganisasi Warga lain untuk Mendukung atau Menolak Alternatif
Kebijakan
7.
Publik yang Diajukan Peserta Pemilu tertentu.
8.
Menyampaikan Pengaduan tentang Dugaan Pelanggaran Pemilu.
9.
Melakukan Survey dan Menyebar-luaskan Hasil Survey tentang pendapat atau
10.
persepsi pemilih Tentang Peserta Pemilu/Calon.
11.
Melaksanakan dan Menyebar-luaskan Hasil Perhitungan Cepat Pemilu (Quick
12.
Count) dan Exit Poll.
13.
Merekem dan menyebar-luaskan Hasil Penghitungam Suara setiap TPS melalui
14.
berbagai media.
Sistem Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Pemilu
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, salah satu parameter Pemilu Demokratik adalah
sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan
Tepat Waktu. Secara umum Hasil Pemilu akan diterima oleh rakyat bila delapan
parameter Pemilu Demokratik mencapai derajad tinggi. Akan tetapi secara sederhana
Rakyat pada umumnya (bukan orang terpelajar, bukan kalangan menengah Kemitraan
bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau mereka yang berkiprah
pada kajian demokrasi dan HAM) akan menerima Hasil Pemilu bila terpenuhi
dua persyaratan berikut: (a) hasil Pemilu yang ditetapkan dan diumumkan
oleh KPU berintegritas (bebas manipulasi), dan (b) semua pelanggaran dan
sengketa Pemilu berhasil ditegakkan secara adil sebelum Hasil Pemilu ditetapkan dan diumumkan oleh KPU. Rakyat akan
menerima Hasil Pemilu secara tidak penuh bila Hasil Pemilu berintegritas
tetapi penegakan hukum dan sengketa Pemilu dilaksanakan setelah KPU
menetapkan dan mengumumkan Hasil Pemilu. Rakyat tidak akan menerima
Hasil Pemilu bila kedua indikator tersebut dinilai tidak terpenuhi
secara memadai.
Untuk mencapai parameter ini
sejumlah rekomendasi berikut perlu dimasukkan kedalam Kitab Hukum
Pemilu.
(1) Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP) beserta sanksinya
dirumuskan
secara
lengkap dalam UU Pemilu.
(2) Ketentuan Pidana Pemilu (KPP) terutama diprioritaskan
pada berbagai
aspek
yang berkaitan langsung dengan parameter Pemilu Demokratik, seperti
pelanggaran yang berpengaruh langsung terhadap hasil penghitungan suara,
pelanggaran yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan calon,
pelanggaran berupa ancaman kekerasan terhadap pemilih, peserta,
penyelenggara dan unsur organisasi masyarakat sipil (pemantau, wartawan,
dan lembaga survey), dan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara
dan pelaksana Pemilu.
(3) KPP tidak membedakan pelanggaran dari kejahatan tetapi
sejumlah pelanggaran dikenakan Sanksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar
pelanggaran dikenakan Sanksi satu atau lebih tahun hukum penjara. Sanksi atas
pelanggaran KPP dirumuskan dalam bentuk pidana penjara dan denda. Sanksi berupa
pidana penjara dirumuskan dalam bentuk “paling singkat sekian tahun” dan
“paling lama sekian tahun,’ sedangkan sanksi denda dirumuskan dalam bentuk
“sediki-dikitnya sekian juta rupiah” dan “sebanyak-banyaknya sekian ratus
juta.” Hal ini dimaksudkan agar Majelis Hakim dapat membuat putusan yang
menjamin rasa adil.
(4) Proses penegakan KAP dan KPP tidak boleh mengganggu
pelaksanaan tahapan pada Fase Penyelenggaraan Pemilu tanpa mengurangi
kesempatan semua pihak membuktikan kasusnya. Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia
(5) Penegakan KAP dan KPP, khususnya pelanggaran yang
berdampak pada hasil penghitungan suara, harus sudah tuntas paling lambat 3
(tiga) hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu.
(6) Penyederhanaan sistem penegakan hukum diusulkan
sebagai berikut. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditransformasi menjadi Badan
Penegak Hukum Pemilu dengan tugas dan kewenangan dan persyaratan keanggotaan
yang berbeda dari Bawaslu. Badan Penegak Hukum Pemilu bertugas:
(a) Menegakkan KAP (menampung pengaduan, mengadakan
penyelidikan, mendengar pihak terkait, dan mengambil putusan);
(b) Menegakkan Ketentuan tentang Dana Kampanye Pemilu
(menampung pengaduan, mengadakan penyelidikan/penyidikan, mendengarkan pihak
terkait, dan mengambil putusan);
(c) Melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran KPP dan
mengajukan tuntutan atas dugaan pelanggaran KPP di depan Pengadilan Khusus
Pemilu yang dibentuk di setiap Pengadilan Negeri;
(d) Menyelesaikan sengketa administrasi Pemilu antara
Peserta Pemilu dengan KPU; dan mempertahankan Putusan yang diambil di PTUN bila
Peserta Pemilu dan/atau KPU naik banding;
(e) Menyelesaikan sengketa antar Peserta Pemilu.
(7) Perselisihan Hasil Pemilu, termasuk Pilkada,
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Jumlah anggota Badan Penegak Hukum Pemilu diusulkan 9
orang, yaitu 4 orang Sarjana Hukum (Hukum Pidana 2 orang dan Hukum Administrasi
2 orang), 3 orang Sarjana Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan 2 orang Sarjana
Akuntansi. WNI yang dapat menjadi anggota Badan ini adalah:
(a) berusia sekurang-kurangnya 45 tahun
(b) berpendidikan serendah-rendahnya S1 dalam bidang
Hukum, bidang Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan bidang Akutansi
(c) berpengalaman dalam bidang yang dilamar
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun yang menunjukkan rekam-jejak yang bagus.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia
(d) Lulus seleksi yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
(9) Badan Penegak Hukum Pemilu terdiri atas anggota yang
mempunyai kedudukan yang setara, dan Sekretariat Jendral. Rapat Pleno Anggota
Badan membuat keputusan, sedangkan Sekretariat Jendral bertugas: menyiapkan
rancangan keputusan Badan berdasarkan bukti, data dan dokumen hukum, dan
melaksanakan keputusan Badan. Sekretariat Jendral terdiri atas pegawai Badan
yang terdidik dan terlatih dalam bidang tugasnya. Sekretariat Jendral terdiri
atas seorang Sekretaris Jendral yang bertugas mengelola sistem pendukung
administrasi dan keuangan, 3 orang Deputi (Deputi Penegakan Hukum Pemilu,
Deputi Penyelesaian Sengketa Pemilu, dan Deputi Pelatihan dan Pengembangan),
dan seorang Inspektur Jendral.
IMPLIKASI
Dalam
rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu
serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu, pembentuk undang- undang
berkeinginan untuk kembali ke sistem nomor urut, maka hal ini tidaklah
bertentangan dengan Putusan MK No 22- 24/PUU-VI/2008.
DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019
dilaksanakan secara serentak. Perlu dikaji apakah semua partai politik yang
telah berbadan hukum dan lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, dapat ikut
dalam Pemilu Serentak 2019? Ataukah partai politik yang dapat mengajukan
pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik yang sudah
pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014.
RUU Kitab Hukum Pemilu dapat
dilaksanakan secepatnya mulai tahun 2016
ini, sebagaimana RUU ini telah masukdalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, hal
ini juga dikarenakan bilamana ada yang kemudian mengajukan judicial review atas RUU
Kitab Hukum Pemilu.
UU Pemilu yang
terintegrasi berdasarkan asas, tujuan, dan parameter yang
sama dan sistimatika tertentu hendak mencapai 10
tujuan berikut:
1)
menyederhanakan
sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD sehingga mudah dipahami oleh pemilih
pada umumnya;
2)
menyederhanakan
sistem hasil Pemilu terutama rekapitulasi hasil perhitungan suara dengan
mengurangi jumlah tingkat rekapitulasi dan/atau penggunaan perangkat elektronik
untuk rekapitulasi (erecapitulation);
3)
menciptakan
sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan Tepat
Waktu dengan menjamin pengaturan yang menjamin kepastian hukum dan
penyederhanaan lembaga penegak hukum Pemilu;
4)
menghilangkan
insentif (dan mengenakan disinsentif) bagi calon, pemilih dan petugas
pemungutan dan penghitungan suara untuk melakukan transaski jual-beli suara;
5)
mendorong
profesionalisasi penyelenggara Pemilu;
6)
melaksanakan
kalender Pemilu (Pemilu Nasional terpisah 30 bulan dari Pemilu Lokal) yang
mampu mendorong konsolidasi demokrasi;
7)
menciptakan pola
partisipasi politik warga negara sebagai: anggota partai, pemilih,
konstituensi, dan pembayar pajak;
8)
menciptakan
partai politik yang tidak hanya secara internal dikelola secara demokratik
tetapi juga sumber penerimaan yang berimbang dari Negara, masyarakat dan
Internal Partai; yang tidak hanya berorientasi pada Kebijakan Publik
berdasarkan aspirasi konstituen dan ideologi partai tetapi juga mampu
melaksanakan dua fungsi utama partai dalam Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia mendukung demokrasi perwakilan dan menggerakkan
pemerintahan demokratis; dan menciptakan sistem kepartaian pluralisme moderat;
9)
menciptakan
sistem perwakilan politik yang menempatkan Partai Politik Pesrta Pemilu yang
memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi Daerah Pemilihan dan
akuntabel kepada Daerah Pemilihan;
10)
menciptakan
pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif;
11)
menciptakan UU
Pemilu yang dapat bertahan lama sehingga semua pihak memiliki waktu yang
memadai untuk meresapkan dan memahami semua ketentuan Pemilu; dan
12)
mendorong proses
konsolidasi demokrasi sehingga demokrasi menjadi the only game in town (menjadikan
demokrasi menjadi satu-satunya aturan main dalam ranah publik,
termasuk/terutama di dalam Partai Politik).