Selasa, 01 Agustus 2017

ANALISIS PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU


RUU PRIORITAS PROLEGNAS 2017

“PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU”

 

URGENSI

Tata kelola pemilu sebagai subkajian pemilu terdiri atas empat aspek : peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu, proses penyelenggaraan pemilu, badan penyelenggaraan pemilu, dan sistem penegakan hukum pemilu. Dari keempat aspek, aspek pertama (hukum pemilu) merupakan aspek paling penting karena lima alasan. Prosedur yang digunakan untuk setiap tahapan pemilu harus memenuhi dua syarat: sesuai asas-asas pemilu demokratis dan mengandung kepastian hukum. Pemilu berkualitas dapat dicapai bila terdapat partisipasi warga negara sebagai anggota partai, pemilih, konstituen, dan pembayar pajak. Partisipasi ini perlu diatur secara lengkap akses dan salurannya di peraturan perundang-undangan.

Rakyat akan menerima hasil pemilu sebagai berlegitimasi secara politik dan hukum tak hanya bila hasil pemilu berintegritas (bukan hasil manipulasi, tetapi hasil penghitungan jujur). Untuk menjamin ini, perlu peraturan perundang-undangan yang mengatur dua hal. Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur lengkap ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu yang dapat tuntas ditegakkan beberapa hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu. Kedua, peraturan perundangan yang mengatur satu atau dua institusi dan mekanisme penegakan ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu.

Untuk menjamin pengaturan pemilu yang memenuhi kedua syarat, diperlukan kodifikasi empat UU mengenai pemilu menjadi satu Kitab Hukum Pemilu berdasarkan asas, tujuan, parameter, dan sistematika tertentu. Mengingat lingkup cakupan keempat UU mengenai pemilu itu begitu luas, apakah keempatnya dapat diintegrasikan menjadi satu Kitab Hukum Pemilu. Keenam aspek yang sama adalah asas pemilu, daftar pemilih, proses penyelenggaraan tahapan pemilu, parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pola partisipasi politik warga negara, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu.

Kodifikasi atau Kitab Hukum Pemilu diperlukan untuk Pengaturan setiap jenis pemilu dengan UU tersendiri menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam bentuk kontradiksi dan duplikasi antar-UU maupun perumusan berbagai aspek proses penyelenggaraan pemilu yang tanpa standardisasi dalam nomenklatur dan lingkup pengertian.

Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu yang perlu sesegera mungkin mulai disusun, maka perlu dikaji kembali apakah benar MK dalam Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak? Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Sejatinya, Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 memiliki amar yang pada pokoknya menyatakan bahwa Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam hal kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 adalah mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya       tidak    menegaskan bahwa semua partai politik peserta pemilu langsung dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu.

Untuk menjamin agar UU Pemilu tidak saja dirumuskan berdasarkan empat prinsip demokrasi (hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu, Asas-asas Pemilu Demokratik, Pemilu yang Berintegritas, dan Pemilu yang Berkeadilan) tetapi juga memiliki kepastian hukum. Hukum Pemilu dan Kepastian Hukum dalam pengaturan Pemilu merupakan hal yang sangat esensial dalam proses penyelenggaraan Pemilu sehingga menjadi salah satu indikator Pemilu yang Demokratik. Hukum pemilu dan Kepastian hukum dalam Pemilu dipandang penting karena empat sebab. Pertama, dari satu segi Pemilihan Umum dapat dirumuskan sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar pasangan calon untuk memperebutkan hal yang sama, yaitu kursi penyelenggara negara. Karena jumlah jabatan yang diperebutkan sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah yang mengejarnya (jumlah jabatan lebih sedikit daripada pihak yang hendak memperebutkannya), dan berbagai pihak yang terlibat dalam persaingan itu memandang jabatan itu sebagai amat sangat penting, maka Pemilu sebagai persaingan (konflik politik) akan cenderung berlangsung ketat dan keras.

Untuk mencegah kekerasan dalam persaingan tersebut, dan terutama juga untuk menjamin persaingan yang bebas dan adil diantara Peserta Pemilu atau antar pasangan calon, maka diperlukan hukum Pemilu yang berisi penjabaran empat prinsip Pemilu demokratik (hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu, Pemilu Berintegritas, dan Pemilu yang Berkeadilan). Pemilu sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar pasangan calon yang diatur dengan hukum Pemilu seperti inilah yang acapkali disebut sebagai konflik politik yang dilembagakan.

SUBSTANSI

            UU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/ mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak.

            Memaknai Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 untuk Pemilu Serentak 2019 sistem Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata masih menimbulkan banyak masalah.Sehingga kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019 apakah masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau kembali ke sistem proporsional tertutup.

Untuk menciptakan sistem politik demokrasi yang pada gilirannya menghasilkan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif, maka harus ada beberapa aspek dalam Pemilu dan penyelenggaraan Pemilu untuk dituangkan menjadi RUU Pemilu yang mencakup asas-asas pemilihan umum, sistem pemilihan umum, proses penyelenggaraan Pemilu, para aktor utama yang berperan dalam penyelenggaraan Pemilu, pola partisipasi masyarakat dalam Pemilu, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu.

Asas-asas Pemilu

Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terdapat enam asas pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Akan tetapi semua undang-undang yang mengatur pemilihan umum di Indnesia (dan juga negara demokrasi lainnya) menambah dua asas lagi, yaitu asas transparansi dan akuntabilitas yang merupakan dua indikator Pemilu yang Berintegritas. Berikut merupakan penjelasan singkat setiap asas, sedangkan penerapannya dalam proses penyelenggaaan Pemilu akan dikemukakan pada setiap tahapan Pemilu yang relevan. Selain kedelapan asas ini juga diperlukan sejumlah prinsip demokrasi lainnya. Selain kepastian hukum, prinsip lain yang harus menuntun perumusan undang-undang tentang pemilihan umum adalah hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu (electoral right principles), integritas Pemilu (electoral integrity), dan keadilan Pemilu (electoral justice). Kedelapan asas Pemilu demokratik itu bersama dengan ketiga prinsip terakhir ini tidak saja akan menjadi penuntun perumusan proses penyelenggaraan Pemilu tetapi juga menjadi parameter mengukur Pemilu demokratik.

Asas umum (universal suffrage) merupakan asas yang pertama yang menyatakan setiap warga negara yang telah mencapai umur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin, berhak memilih. Faktor jenis kelamin, suku, agama, ras, status Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia ekonomi, latar belakang keturunan, kasta, pekerjaan, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan pisik dan mental, pemukiman, status hukum, dan tempat tinggal tidak boleh membatasi hak pilih seseorang. Asas bebas mempunyai arti pemilihlah yang menentukan siapa atau partai apa yang akan dipilih tanpa tekanan, paksaan atau ancaman dalam bentuk apapun dari siapun juga. Asas langsung berarti pemilih sendirilah yang memberikan suaranya tanpa perantara siapapun. Asas rahasia berarti tidak ada seorangpun juga yang dapat mengetahui siapa atau partai apa yang dipilih.

Asas jujur mempunyai dua arti: pemilih memberikan suara karena pilihan sendiri bukan karena disuap dengan sembako dan/atau uang; dan penyelenggara dan pelaksana Pemilu mengidentifikasi pilihan pemilih dan menghitung suara pemilih tanpa manipulasi baik sengaja maupun tidak disengaja. Asas adil mempunyai dua arti: setiap pemilih mempunyai hak satu suara dan bernilai setara dan karena itu seorang pemilih dilarang memberikan suara lebih dari satu kali baik di TPS yang sama maupun di TPS yang berbeda; dan penyelenggara dan pelaksana Pemilu memperlakukan setiap pemilih dan peserta Pemilu secara setara. Asas transparansi berarti masyarakat dapat melihat, mendengar dan membaca apa yang dikerjakan oleh penyelenggara dan pelaksana Pemilu. Dan asas akuntabel berarti penyelenggara dan pelaksana Pemilu wajib menjelaskan apa yang dikerjakan dan wajib menjawab pertanyaan dan keberatan pemilih, saksi, dan unsur masyarakat lainnya. Penerapan kedelapan asas ini secara konkrit paling tampak pada pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara TPS di berbagai tingkatan.

Sistem Pemilihan Umum Berikut akan dikemukakan rekomendasi untuk sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, sistem pemiihan umum anggota DPD, sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dan sistem pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

 Sistem Pemilu Anggota DPR dan DPRD

Sistem Pemilu yang diusulkan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Partai yang Ditetapkan secara Demokratis. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menetapkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia partai politik sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, partai politiklah yang:

(a)    berkompetisi dalam Pemilu Anggota DPR dan DPRD untuk mendapatkan simpati

dan kepercayaan dari pemilih;

(b)   menetapkan daftar calon;

(c)    menentukan Visi, Misi dan Program Partai sebagai materi kampanye Pemilu;

(d)   mengkoordinasi pelaksanaan kampanye Pemilu berdasarkan strategi dan metode yang ditetapkan sendiri;

(e)    dipilih oleh pemilih dalam pemungutan suara;

(f)    berhak mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan keputusan KPU tentang Hasil Pemilu bila memiliki bukti
pendukung;

(g)   memiliki kursi di DPR dan DPRD (bila berhasil mencapai jumlah suara
yang ditentukan) sedangkan calon yang ditetapkan sebagai anggota DPR
dan DPRD adalah pengisi kursi partai; dan

(h)   mempertanggung-jawabkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye
Pemilu.

Dengan peran Partai sebagai Peserta Pemilu seperti ini, sistem pemilihan umum tidaklah bisa lain selain Sistem Pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Partai yang ditentukan secara demokratis. Rincian setiap unsur Sistem Pemilu Proporsional Daftar Partai yang Ditentukan secara Demokratis adalah sebagai berikut. Jumlah anggota DPR tetap sebanyak 560 kursi. Jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan jumlah anggota DPRD Provinsi berdasarkan jumlah penduduk mengikuti apa yang ditetapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 karena sudah menjamin keterwakilan yang kurang lebih setara seluruh Indonesia. Alokasi kursi DPR kepada semua provinsi di Indonesia tidak mungkin berdasarkan prinsip kesetaraan antar warga negara alias ‘satu orang, satu suara dan satu nilai’ (equal representation) selama kedudukan DPD belum setara dengan DPR. Pembagian kursi DPR kepada semua provinsi baru dapat dilakukan berdasarkan jumlah penduduk apabila DPD mempunyai kewenangan membuat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia undang-undang yang menyangkut kepentingan daerah. Hal ini hanya mungkin bila dilakukan Perubahan UUD mengenai kedudukan DPD dalam pembuatan undangundang yang menyangkut kepentingan daerah.

Bila perubahan seperti ini dalam waktu dekat belum memungkinkan, maka harus diajukan alternatif lain untuk alokasi kursi DPR kepada provinsi selain yang dilaksanakan sejak Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Sebagaimana dikemukakan pada Bab 2, alokasi kursi DPR sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran UU Nomor 8 Tahun 2012 sangat tidak adil, bahkan lebih buruk daripada alokasi kursi DPR pada Pemilu 2004. Berikut adalah alternatif kriteria alokasi kursi DPR kepada provinsi yang dipandang lebih adil daripada alokasi kursi yang berlaku pada tiga kali Pemilu terakhir. Alternatif yang ditawarkan ini akan menciptakan kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Pulau Jawa, dan kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi ‘harga’ satu kursi DPR di provinsi wilayah Pulau Jawa akan lebih ‘mahal’ daripada harga satu kursi DPR di provinsi wilayah Luar Pulau Jawa. Jelas situasi ini tidak ideal karena belum menjamin kesetaraan antar warga negara Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa dengan yang tinggal di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi ‘keadaan yang tidak ideal’ ini masih jauh lebih baik daripada yang terjadi sekarang di mana harga satu kursi DPR di sejumlah provinsi di Luar Pulau Jawa lebih mahal daripada harga satu kursi di semua provinsi di wilayah Pulau Jawa, dan provinsi yang memiliki kursi terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk (over representation) dan provinsi yang mendapat kursi lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya (under representation) keduanya berada di Luar Pulau Jawa. Kriteria yang digunakan untuk alokasi kursi DPR kepada semua provinsi adalah sebagai berikut:

(a)    Kursi DPR dibagi dua: 280 kursi DPR untuk provinsi di Pulau Jawa dan 280 kursi DPR untuk provinsi di Luar Pulau Jawa;

(b)   Untuk menjamin kesetaraan antar provinsi, setiap provinsi mendapat alokasi kursi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi sedangkan tambahan alokasi
berikutnya disesuaikan dengan jumlah penduduk setiap provinsi; Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

(c)    Sebanyak 280 kursi DPR akan dialokasikan kepada 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan salah satu metode apportionment yang dianggap paling proporsional;

(d)   Di Luar Pulau Jawa terdapat 3 (tiga) provinsi yang dari segi jumlah penduduk hanya akan memperoleh 1 (satu) atau 2 (dua) kursi, yaitu Provinsi Kalimantan
Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Gorontalo. Dari segi jumlah
penduduk ketiga provinsi ini tidak cukup untuk mendapatkan 3 (tiga) kursi.80
Akan tetapi untuk menjamin kesetaraan provinsi, masing-masing provinsi
tersebut dijamin mendapat alokasi 3 (tuga) kursi.

(e)    Sebanyak 280 kursi DPR untuk provinsi Luar Pulau Jawa dikurangi 9
(sembilan) kursi (Gorontalo 3 kursi, Papua Barat 3 kursi dan Kalimantan
Utara 3 kursi). Sisanya sebanyak 271 kursi ini dialokasikan kepada 25 provinsi
lainnya berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan metode
apportionment yang dipandang paling proporsional (Kuota, Jefferson atau
Webster).

(f)    Jumlah penduduk yang digunakan hendaklah yang akurat dan bebas dari
kepentingan politik sepihak. Yang lebih memenuhi kedua syarat ini adalah
data hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Karena alokasi kursi DPR ini dimaksudkan untuk Pemilu 2019, maka data
penduduk yang harus digunakan adalah hasil Sensus Penduduk 2010 yang
disesuaikan dengan rata-rata tingkat pertambahan penduduk untuk Tahun
2019.

(g)   Yang melakukan alokasi kursi berdasarkan kriteria ini dan yang melakukan
pembentukan Daerah Pemilihan berdasarkan sejumlah prinsip yang
ditetapkan dalam Undang-Undang hendaklah lembaga yang independen.
KPU merupakan lembaga yang tepat melaksanakan tugas ini baik untuk alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR maupun alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.

(h)   Sebelum menetapkannya sebagai Keputusan KPU, draft alokasi kursi dan
draft Dapil tersebut wajib dikonsultasikan secara terbuka dengan publik
sehingga tidak saja semua pemangku kepentingan memahami kedua hal itu
tetapi juga ikut berpartisipasi memperbaiki bila terjadi kekeliruan.

Proses Penyelenggaran Pemilu

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Pemilu (Electoral Manajement Body) adalah lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan kegiatan esensial pemilihan umum, seperti penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu, pendaftaran dan penetapan calon, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil Pemilu dan penetapan calon terpilih. Dalam pengertian ini yang dapat dikategorikan sebagai Badan Penyelenggara Pemilu diIndonesia hanyalah Komisi Pemilihan Umum. Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak dapat dikategorikan sebagai Badan Penyelenggara Pemilu tetapi kedua lembaga itu memiliki peran sangat penting dalam Pemilu.

Para Aktor Utama Yang Berperan Dalam Penyelenggaraan Pemilu

Yang dimaksud dengan para akror utama Pemilu di sini adalah Peserta Pemilu dan Calon, Penyelenggara Pemilu dan Panitia Pemungutan Suara, dan Partisipasi Warga Masyarakat. Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai Politik. Peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan. Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Peserta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perseorangan.

 

Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu

Tugas pengawasan terhadap proses penyelenggaraan Pemilu dikembalikan kepada masyarakat sebagai bagian dari partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Unsur masyarakat yang dimaksud di sini adalah pemilih, kelompok relawan, pemantau Pemilu, LSM, lembaga survey, partai politik Peserta Pemilu, dan media massa. Para mahasiswa dalam rangka KKN ataupun proses pembelajaran juga dapat melibatkan diri dalam proses pengawasan atas Pemilu. Termasuk Untuk mendorong dan memfasilitasi pengawasan Pemilu dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu, Pemerintah dan DPR perlu menyediakan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran Pemilu. Dana ini akan dialokasikan untuk kegiatan pemantauan Pemilu, pendidikan pemilih, dan pelaporan atas dugaan pelanggaran Peraturan Pemilu yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat.

 Untuk mengelola Dana Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu ini Presiden perlu membentuk Komisi yang beranggotakan dari berbagai kalangan, seperti Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi yang mendalami Pemilu, Sekto Swasta, dan kalangan professional lain. Tugas Komisi ini merumuskan kriteria dan mekanisme kalangan masyarakat memperoleh dana tersebut.

Tujuan utama partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan tahapan Pemilu adalah memastikan agar proses penyelenggaraan Pemilu sebagai mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada Peserta Pemilu berlangsung sesuai dengan asas-asas Pemilu yang demoktratis, dan memastikan agar hasil Pemilu yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU sesuai dengan suara yang disampaikan pemilih di TPS. Tujuan lain adalah memastikan agar pemilih memberikan suara pada Pemilu secara cerdas berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat.Karena itu bentuk partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam  proses penyelenggaraan Pemilu bukan hanya pemantauan dan pengawasan tetapi juga berbagai bentuk kegiatan lain sebagai berikut:

1.                     Melaksanakan Sosialisasi Pemilu.

2.                     Melaksanakan Pendidikan Pemilih.

3.                     Memberikan Suara sebagai Pemilih.

4.                     Menulis atau Menyiarkan Berita tentang Pemilu.

5.                     Mendukung Peserta Pemilu/Calon tertentu.

6.                     Mengorganisasi Warga lain untuk Mendukung atau Menolak Alternatif Kebijakan

7.                     Publik yang Diajukan Peserta Pemilu tertentu.

8.                     Menyampaikan Pengaduan tentang Dugaan Pelanggaran Pemilu.

9.                     Melakukan Survey dan Menyebar-luaskan Hasil Survey tentang pendapat atau

10.                 persepsi pemilih Tentang Peserta Pemilu/Calon.

11.                 Melaksanakan dan Menyebar-luaskan Hasil Perhitungan Cepat Pemilu (Quick

12.                 Count) dan Exit Poll.

13.                 Merekem dan menyebar-luaskan Hasil Penghitungam Suara setiap TPS melalui

14.                 berbagai media.

 

Sistem Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pemilu

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu parameter Pemilu Demokratik adalah sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan Tepat Waktu. Secara umum Hasil Pemilu akan diterima oleh rakyat bila delapan parameter Pemilu Demokratik mencapai derajad tinggi. Akan tetapi secara sederhana Rakyat pada umumnya (bukan orang terpelajar, bukan kalangan menengah Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau mereka yang berkiprah pada kajian demokrasi dan HAM) akan menerima Hasil Pemilu bila terpenuhi dua persyaratan berikut: (a) hasil Pemilu yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU berintegritas (bebas manipulasi), dan (b) semua pelanggaran dan sengketa Pemilu berhasil ditegakkan secara adil sebelum Hasil Pemilu ditetapkan  dan diumumkan oleh KPU. Rakyat akan menerima Hasil Pemilu secara tidak penuh bila Hasil Pemilu berintegritas tetapi penegakan hukum dan sengketa Pemilu dilaksanakan setelah KPU menetapkan dan mengumumkan Hasil Pemilu. Rakyat tidak akan menerima Hasil Pemilu bila kedua indikator tersebut dinilai tidak terpenuhi secara memadai.

Untuk mencapai parameter ini sejumlah rekomendasi berikut perlu dimasukkan kedalam Kitab Hukum Pemilu.

(1)   Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP) beserta sanksinya dirumuskan

secara lengkap dalam UU Pemilu.

(2)   Ketentuan Pidana Pemilu (KPP) terutama diprioritaskan pada berbagai

aspek yang berkaitan langsung dengan parameter Pemilu Demokratik, seperti pelanggaran yang berpengaruh langsung terhadap hasil penghitungan suara, pelanggaran yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan calon, pelanggaran berupa ancaman kekerasan terhadap pemilih, peserta, penyelenggara dan unsur organisasi masyarakat sipil (pemantau, wartawan, dan lembaga survey), dan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dan pelaksana Pemilu.

(3)   KPP tidak membedakan pelanggaran dari kejahatan tetapi sejumlah pelanggaran dikenakan Sanksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar pelanggaran dikenakan Sanksi satu atau lebih tahun hukum penjara. Sanksi atas pelanggaran KPP dirumuskan dalam bentuk pidana penjara dan denda. Sanksi berupa pidana penjara dirumuskan dalam bentuk “paling singkat sekian tahun” dan “paling lama sekian tahun,’ sedangkan sanksi denda dirumuskan dalam bentuk “sediki-dikitnya sekian juta rupiah” dan “sebanyak-banyaknya sekian ratus juta.” Hal ini dimaksudkan agar Majelis Hakim dapat membuat putusan yang menjamin rasa adil.

(4)   Proses penegakan KAP dan KPP tidak boleh mengganggu pelaksanaan tahapan pada Fase Penyelenggaraan Pemilu tanpa mengurangi kesempatan semua pihak membuktikan kasusnya. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

(5)   Penegakan KAP dan KPP, khususnya pelanggaran yang berdampak pada hasil penghitungan suara, harus sudah tuntas paling lambat 3 (tiga) hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu.

(6)   Penyederhanaan sistem penegakan hukum diusulkan sebagai berikut. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditransformasi menjadi Badan Penegak Hukum Pemilu dengan tugas dan kewenangan dan persyaratan keanggotaan yang berbeda dari Bawaslu. Badan Penegak Hukum Pemilu bertugas:

(a)    Menegakkan KAP (menampung pengaduan, mengadakan penyelidikan, mendengar pihak terkait, dan mengambil putusan);

(b)   Menegakkan Ketentuan tentang Dana Kampanye Pemilu (menampung pengaduan, mengadakan penyelidikan/penyidikan, mendengarkan pihak terkait, dan mengambil putusan);

(c)    Melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran KPP dan mengajukan tuntutan atas dugaan pelanggaran KPP di depan Pengadilan Khusus Pemilu yang dibentuk di setiap Pengadilan Negeri;

(d)   Menyelesaikan sengketa administrasi Pemilu antara Peserta Pemilu dengan KPU; dan mempertahankan Putusan yang diambil di PTUN bila Peserta Pemilu dan/atau KPU naik banding;

(e)    Menyelesaikan sengketa antar Peserta Pemilu.

(7)   Perselisihan Hasil Pemilu, termasuk Pilkada, diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

(8)   Jumlah anggota Badan Penegak Hukum Pemilu diusulkan 9 orang, yaitu 4 orang Sarjana Hukum (Hukum Pidana 2 orang dan Hukum Administrasi 2 orang), 3 orang Sarjana Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan 2 orang Sarjana Akuntansi. WNI yang dapat menjadi anggota Badan ini adalah:

(a)    berusia sekurang-kurangnya 45 tahun

(b)   berpendidikan serendah-rendahnya S1 dalam bidang Hukum, bidang Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan bidang Akutansi

(c)    berpengalaman dalam bidang yang dilamar sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun yang menunjukkan rekam-jejak yang bagus. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

(d)   Lulus seleksi yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif.

(9)   Badan Penegak Hukum Pemilu terdiri atas anggota yang mempunyai kedudukan yang setara, dan Sekretariat Jendral. Rapat Pleno Anggota Badan membuat keputusan, sedangkan Sekretariat Jendral bertugas: menyiapkan rancangan keputusan Badan berdasarkan bukti, data dan dokumen hukum, dan melaksanakan keputusan Badan. Sekretariat Jendral terdiri atas pegawai Badan yang terdidik dan terlatih dalam bidang tugasnya. Sekretariat Jendral terdiri atas seorang Sekretaris Jendral yang bertugas mengelola sistem pendukung administrasi dan keuangan, 3 orang Deputi (Deputi Penegakan Hukum Pemilu, Deputi Penyelesaian Sengketa Pemilu, dan Deputi Pelatihan dan Pengembangan), dan seorang Inspektur Jendral.

IMPLIKASI

Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu, pembentuk undang- undang berkeinginan untuk kembali ke sistem nomor urut, maka hal ini tidaklah bertentangan dengan Putusan MK No 22- 24/PUU-VI/2008.

DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Perlu dikaji apakah semua partai politik yang telah berbadan hukum dan lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, dapat ikut dalam Pemilu Serentak 2019? Ataukah partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014.

RUU Kitab Hukum Pemilu dapat dilaksanakan secepatnya mulai  tahun 2016 ini, sebagaimana RUU ini telah masukdalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, hal ini juga dikarenakan bilamana ada yang kemudian mengajukan judicial review   atas   RUU   Kitab   Hukum Pemilu.

UU Pemilu yang terintegrasi berdasarkan asas, tujuan, dan parameter yang sama dan sistimatika tertentu hendak mencapai 10 tujuan berikut:

1)             menyederhanakan sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD sehingga mudah dipahami oleh pemilih pada umumnya;

2)             menyederhanakan sistem hasil Pemilu terutama rekapitulasi hasil perhitungan suara dengan mengurangi jumlah tingkat rekapitulasi dan/atau penggunaan perangkat elektronik untuk rekapitulasi (erecapitulation);

3)             menciptakan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan Tepat Waktu dengan menjamin pengaturan yang menjamin kepastian hukum dan penyederhanaan lembaga penegak hukum Pemilu;

4)             menghilangkan insentif (dan mengenakan disinsentif) bagi calon, pemilih dan petugas pemungutan dan penghitungan suara untuk melakukan transaski jual-beli suara;

5)             mendorong profesionalisasi penyelenggara Pemilu;

6)             melaksanakan kalender Pemilu (Pemilu Nasional terpisah 30 bulan dari Pemilu Lokal) yang mampu mendorong konsolidasi demokrasi;

7)             menciptakan pola partisipasi politik warga negara sebagai: anggota partai, pemilih, konstituensi, dan pembayar pajak;

8)             menciptakan partai politik yang tidak hanya secara internal dikelola secara demokratik tetapi juga sumber penerimaan yang berimbang dari Negara, masyarakat dan Internal Partai; yang tidak hanya berorientasi pada Kebijakan Publik berdasarkan aspirasi konstituen dan ideologi partai tetapi juga mampu melaksanakan dua fungsi utama partai dalam Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia mendukung demokrasi perwakilan dan menggerakkan pemerintahan demokratis; dan menciptakan sistem kepartaian pluralisme moderat;

9)             menciptakan sistem perwakilan politik yang menempatkan Partai Politik Pesrta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi Daerah Pemilihan dan akuntabel kepada Daerah Pemilihan;

10)         menciptakan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif;

11)         menciptakan UU Pemilu yang dapat bertahan lama sehingga semua pihak memiliki waktu yang memadai untuk meresapkan dan memahami semua ketentuan Pemilu; dan

12)         mendorong proses konsolidasi demokrasi sehingga demokrasi menjadi the only game in town (menjadikan demokrasi menjadi satu-satunya aturan main dalam ranah publik, termasuk/terutama di dalam Partai Politik).

PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN DESA


PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN DESA
( Studi Kasus : Desa Boto Kec.Bancak Kabupaten Semarang )
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanahkan secara tegas bahwa setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama untuk memperoleh penghidupan yang layak. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta dalam program pembangunan secara proporsional. Namun pada kenyataannya posisi dan peran perempuan dalam pembangunan masih termarginalkan. Implikasinya walaupun dari segi kuantitas jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, akan tetapi secara kualitas lebih kecil daripada laki-laki.

Program pembangunan seharusnya menjadi alat, bukan menjadi tujuan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar warga negara, baik laki-laki maupun perempuan sehingga kesetaraan antara keduanya bisa terwujud. Pengabaian peran perempuan telah menempatkan posisi perempuan pada posisi yang lemah, misalnya dalam bidang pendidikan ditambah dengan budaya yang tidak berpihak serta pemahaman tafsir agama yang cenderung bias gender sehingga semakin menjadikan perempuan tersudut dan memiliki posisi yang rentan. Peran perempuan dalam pembangunan desa seringkali diragukan karena dianggap tidak layak dan tidak mampu.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan mulai diperhitungkan. Terlebih sejak 10 tahun yang lalu, istilah “gender” telah memasuki setiap lini masyarakat yang menyebabkan perubahan sosial. Istilah gender digunakan untuk menjelaskan antara laki-laki dan perempuan. Keadaan peran dan status perempuan dewasa ini lebih dipengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara mengalami kelemahan.

Pada dasarnya peran perempuan dalam pembangunan merupakan hal yang penting karena keterlibatan perempuan dalam kelembagaan desa (BKM) diharapkan akan memunculkan kebijakan/keputusan yang peduli terhadap  pemenuhan  kebutuhan  perempuan. Perempuan   yang   dilibatkan   dalam perencanaan  dapat  mengusulkan  kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas kebutuhan dasar perempuan yang seringkali terlewatkan (terlupakan) ketika penyusun rencana kegiatan adalah kaum laki-laki. Posisi perempuan dalam pembangunan seharusnya ditempatkan sebagai partisipan ataupun subjek pembangunan bukan sebagai objek sebagaimana yang terjadi selama ini.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka masalah utama yang hendak diteliti adalah Peran perempuan dalam pembangunan desa studi kasus Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :

1.    Bagaimana peran perempuan Desa Boto dalam pembangunan desa?

2.    Seberapa besar ruang yang diberikan Pemerintah Desa Boto kepada perempuan ?

3.    Apa saja hambatan yang dihadapi oleh perempuan di Desa Boto dalam hal pembangunan desa?

 

1.3  Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang dapat disampaikan antara lain :

1.    Mengetahui peran perempuan Desa Boto dalam pembangunan desa.

2.    Mengetahui seberapa besar ruang yang diberikan Pemerintah Desa Boto kepada perempuan.

3.    Mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi oleh perempuan di Desa Boto dalam hal pembangunan desa

1.4  Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimana metode ini dilakukan dengan teknik wawancara.

1.         Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang dengan berfokus pada setiap dusun. Peneliti dalam melakukan penelitian yaitu tiga minggu yang lalu (26 Februari – 11 Maret 2017).

2.         Teknik Pengumpulan Data

a.       Data Primer

Data primer dalam penelitian ini terdiri dari data yang diperoleh langsung dari narasumber dengan mangajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan dalam bentuk wawancara. Data primer juga diperoleh dari pengamatan langsung atau observasi yang kemudian dicatat atau direkam.

b.      Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka yang bersumber dari karya ilmiah, jurnal, media online dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan topik yang diteliti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kajian pustaka merupakan penelitian atau kajian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak diteliti. Kajian pustaka berfungsi sebagai perbandingan dan tambahan informasi terhadap penelitian yang hendak dilakukan.

Berdasarkan pengamatan kepustakaan yang penulis lakukan, kajian mengenai Peran perempuan dalam pembangunan desa studi kasus Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang belum ada yang mengkaji.

Dalam UU Nomor 6 tahun 2014, berdasarkan pada Pasal 26 ayat (4) poin e. dijelaskan bahwa “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban: e. Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender.”

Dalam UU Nomor 6 tahun 2014, berdasarkan pada Pasal 68 ayat (1) poin c dijelaskan bahwa “Masyarakat desa berhak: c. Menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa”.

Menurut Sofiani (2009: 64), posisi perempuan dalam pembangunan memang seharusnya ditempatkan sebagai partisipan atau subjek pembangunan bukan sebagai objek sebagaimana yang terjadi selama ini. Realitas menunjukan bahwa posisi perempuan masih sebagai objek pembangunan, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, masih kuatnya faktor sosial dan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi beda; kedua, masih banyak perundang-undangan, kebijakan dan program pembangunan yang belum peka gender; ketiga, kurang adanya sosialisasi ketentuan hukum yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan secara menyeluruh; keempat, belum adanya kesadaran gender di kalangan para perencana dan pengambil keputusan; kelima, belum lengkapnya data pilah yang memaparkan posisi perempuan dan laki-laki secara jelas dalam bidang pembangunan di semua departemen; keenam, belum maksimalnya kesadaran, kemauan dan konsistensi perempuan itu sendiri dan; ketujuh, kurangnya pengetahuan perempuan terhadap tujuan dan arah pembangunan, sehingga perempuan kurang respon, masa bodoh atau menolak secara tidak langsung dari program-program pembangunan.

Menurut H.A.W. dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa : Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Menurut peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pasal 1 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Siagian ( 2004) memberikan pengertian tentang Pembangunan sebagai “ Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa ( Nation Building). Sedangkan Ginanjar Kartasasmita ( 1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana yaitu sebagai “ suatu proses perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
 

BAB III

PEMBAHASAN

3.1      Deskripsi Desa Penelitian

A.    Sejarah Desa Boto

Konon pada zaman dahulu, ada seseorang yang dianggap sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar di suatu perkampungan yang masih dipenuhi pohon-pohon. Beliau bernama Mbah Kasban yang tinggal bersama beberapa orang yang pada saat itu menghuni hutan tersebut. Pada suatu waktu, di tanah Mbah Kasban saat itu ada tumpukan bata atau boto yang konon akan digunakan Mbah Kasban untuk membangun sesuatu. Bata atau boto tersebut berada disana cukup lama.

Setelah beberapa lama kemudian penduduk di kampung tersebut semakin banyak dan perlu adanya sistem pengaturan pemerintahan. Kemudian orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh berkumpul untuk memberikan nama kampung tersebut. Untuk lebih mempermudah mengingatnya disepakati bahwa tumpukan bata/boto tersebut dijadikan tenger atau tanda awal dibangunnya pemerintahan desa. Sehingga tercipta suatu desa yang damai dan tenteram dengan nama Desa Boto yang pertama kali dipimpin oleh Mbah Sodor yang tinggal di Desa Boto.

 

1.         Sejarah Pemerintahan Desa Boto

Secara de jure Pemerintahan Desa Boto mulai dipimpin oleh H. Abdul Latif, namun konon sebelumnya terdapat legenda bahwa telah ada pengaturan desa secara sederhana kala itu, yang diawali kepemimpinan Mbah Sodor Boto dengan juru tulis Den Kromo. Berikut perjalanan legenda yang didapat dari berbagai sumber:

1.      Mbah Demang Sodor asal Boto juru tulis bernama Den Kromo

2.      Mbah Demang Resodipo asal Boto juru tulis bernama Den Kromo.

3.      Mbah Demang Kertoyudo asal Gunung Kendal untuk nama cariknya belum diketahui.

Berikut perjalanan sejarah pemerintahan desa Boto secara dejure :

1.         Kepala desa atau lurah H. Abdul Latif asal Krasak (1860-1917). Sekretaris desa / carik belum diketahui.

2.         Kepala desa atau lurah H. Yunus berasal dari Krasak (1917-1937). Sekretaris desa atau cariknya yang bernama Harjo, kemudian tugasnya dilanjutkan oleh H. Mahfud Al Subari.

3.         Kepala desa atau lurah H. Mahfud Al Subari berasal dari Krasak (1937-1973). Sekretaris desa / cariknya bernama H. Abdullah, kemudian sepeninggal H. Abdullah sekretaris desa / cariknya dilanjutkan oleh Yasmin Amat Salam.

4.         Kepala desa atau lurah Sunarti Berasal dari Krasak (1974-2007).

5.         Kepala Desa atau Lurah Sjaichul Hadi S.Pt berasal dari Krasak (2008- sekarang ).

3.2  Kondisi Geografis

Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang. Luas Kabupaten Semarang secara keseluruhan sebesar 950,2067 km2 atau sekitar 2,92% dari luas Kecamatan Bancak yang secara administratif terdiri dari tujuh dusun. Secara administratif letak geografis Desa Boto dibatasi oleh enam desa pada sisi-sisinya. Disisi barat, Wilayah Desa Boto berbatasan dengan wilayah administrasi Desa Wonokerto dan Desa Sendang, disisi selatan berbatasan dengan Desa Banding dengan Pucung, sementara disisi timur wilayah Desa Boto berbatasan dengan Wilayah Desa Rejosari dan Desa Jlumpang dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Bancak.


3.3  Struktur Desa

1.         Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK)

Kepala Desa Boto:                Sjaichul Hadi, S. Pt

Kepala Dusun Krasak:          Amin Barokah Y.

Kepala Dusun Gg. Kendil:   Suyatno

Kepala Dusun Sembung:      Sugiharto

Kepala Dusun Klumpit:        Drs. Hambali

Kepala Dusun Penggung:     Siti Fatimah (Ketua PKK)

Kepala Dusun Kemiri:          Sofiyatun

Kepala Dusun Boto:             Sunarto

2.         Seksi-Seksi

Ka. Keuangan:                      Supriyadi

Ka. Umum & Perencanaan:  Sri Andrini

Ka. Pelayanan:                      Samsuri

Ka. Pemerintahan:                Subadri

Ka. Kesra:                             Asruri

 

3.4  Gambaran Peran Perempuan Desa Boto Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, peneliti melihat bahwa peran perempuan di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang sudah berperan aktif. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh para perempuan misalnya PKK yang memiliki banyak program diantaranya pengajian, posyandu, kelas ibu hamil dan sebagainya. Kegiatan PKK ini banyak memperoleh penghargaan diantaranya mendapatkan kategori tertib administrasi terbaik di Kabupaten Semarang. Selain itu, mereka juga terlibat dalam kerja bakti pembangunan infrastuktur berupa jalan desa dan jalan kampung.

3.5  Peran Perempuan dalam Pembangunan Desa Boto

Menurut Sjaichul Hadi yang menjabat sebagai Kepala Desa Boto, sejak tahun 2005, Desa Boto memiliki Progam Program Pengembangan Kecamatan Mandiri (PPK Mandiri). Pada tahun 2007, terdapat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaaan (PNPM MD). Dalam Program PNPM MD ini pemerintah memberikan pemahaman bahwa sekarang ini paradigma yang digunakan tidak lagi “Bangun Desa” tetapi menggunakan paradigma “Desa Membangun” bagi semua desa. Salah satu prinsip dari paradigma baru “Desa Membangun” yaitu Dari, Oleh, dan Untuk Masyarakat (DOM) dari proses pembangunan. PPK Mandiri dan PNPM Mandiri memberikan variasi bagi Desa Boto untuk berproses dan berupaya untuk mengakomodasi berbagai elemen masyarakat. Meskipun program-program tersebut dijalankan hanya sampai tahun 2014, namun pemerintah desa Boto menjadikan program-program tersebut sebagai pembelajaran dan dijalankan sampai sekarang.

Proses perencanaan pembangunan di Desa Boto melibatkan masyarakat secara aktif atau partisipatif. Di Desa Boto sendiri diadakan Tilikan Dusun setiap tahun. Pemerintah Desa, Badan Permusyawarahan Desa (BPD) dan Perangkat Desa melakukan blusukan ke dusun untuk menjaring aspirasi dari masyarakat desa. Dalam penjaringan aspirasi di Desa Boto sendiri, dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, Kelompok Perempuan, warga perempuan di Desa Boto diberikan kesempatan dalam Musyawarah Kelompok Perempuan (MKP) untuk memberikan usulan terhadap perencanaan pembangunan. Kedua, Kelompok Masyarakat Miskin, yang diberikan kesempatan dalam Musyawarah untuk memberi masukan dalam perencanaan pembangunan. Ketiga, Kelompok campuran. Ketiga kelompok ini diberikan waktu sendiri-sendiri dalam memberikan aspirasi kepada Pemerintah Desa Boto. Hal ini dikarenakan jika tidak diberi ruang dan waktu sendiri-sendiri, kelompok perempuan akan kalah oleh tokoh-tokoh yang mempunyai power di Desa Boto.

Di Desa Boto, pembangunan tidak hanya berupa fisik, tetapi juga non fisik. Contohnya dalam bentuk pemberdayaan dari PKK, kelompok perempuan, posyandu dan sebagainya. Unsur-unsur perempuan ini memiliki peranan dalam memberi masukan dan usulan kepada Kepala Desa Boto dalam memutuskan proses perencanaan pembangunan desa. Jadi usulan setiap dusun termasuk usulan dari unsur perempuan dikumpulkan kemudian dibawa ke desa untuk dipilih yang mana yang lebih diprioritaskan. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (MUSRENBANG desa) di Desa Boto, terdapat utusan perempuan yang membawa usulan tadi. Jika dalam musyawarah desa ada enam perwakilan, tiga diantaranya adalah perempuan. Tidak hanya utusan yang membawa usulan dari dusun yang boleh hadir dalam MUSRENBANG desa, setiap warga yang ingin mengikuti MUSRENBANG Desa Boto juga diperbolehkan oleh pemerintah desa. Dalam MUSRENBANG Desa Boto, juga terdapat perwakilan dari partai politik, Karang Taruna, Perangkat Desa, perwakilan RT/RW. Setelah diputuskan dalam musyawarah, nantinya pelaksanaan program tersebut juga dilakukan oleh masyarakat Desa Boto.

Proses pembangunan di Desa Boto selalu menggiatkan partisipasi dari masyarakat. Karena pada prinsipnya, semua proses pembangunan desa sendiri dilakukan untuk kebaikan masyarakat Desa Boto. Skala prioritas MUSRENBANG di Desa Boto sendiri mengutamakan pembangunan yang ada di Desa Boto. Karena yang dibutuhkan masyarakat sendiri adalah pembangunan jalan, pengurusan sertifikat, serta bantuan untuk merehab rumah warga.

Hasil MUSRENBANG Desa Boto kemudian dibawa ke tingkat kecamatan. Perwakilan Desa Boto pada saat mengajukan usulan ke kecamatan sendiri adalah Kepala Desa.

Banyak pengaruh dari kegiatan yang dilakukan oleh PKK karena kegiatannya tersebut melakukan pelatihan dan penyuluhan bagi warga perempuan sehingga warga perempuan Desa Boto memiliki beberapa keahlian seperti menjahit, membuat jajanan tradisional, pengelolaan limbah plastik. Hal ini memberikan bekal bagi warga perempuan dalam melakukan kegiatan ekonomi, contohnya adalah terdapat warga perempuan dengan membuat usaha pembuatan keripik. PKK juga mengadakan lomba-lomba pada saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.

Pada saat dilakukan MUSRENBANG, perwakilan dari PKK tetap dilibatkan dalam MUSRENBANG desa sehingga tetap ada perwakilan dari perempuan dalam kegiatan tersebut. Jadi diwajibkan 35% anggota yang hadir adalah unsur perempuan dalam MUSRENBANG dan mereka dapat mengajukan usul atau pendapat dalam MUSRENBANG. Contohnya dalam PNPM Mandiri, pihak PKK mengusulkan menambah peralatan posyandu sehingga pendapat perempuan tetap didengar dalam MUSRENBANG.

 

3.6              Ruang yang diberikan Pemerintah Desa Boto kepada perempuan

Dalam pengambilan keputusan didesa  Boto sendiri, Peran perempuan sangat diutamakan dimana dalam Musyawarah Rencana Pembangunan desa (MUSRENBANG) dimulai dalam tingkat dusun dimana warga perempuan dapat memberikan usulan pada saat musyawarah di tingkat dusun. Contohnya menurut Amin Barokah selaku Kepala Dusun Krasak yang juga merupakan salah satu kepala dusun perempuan di Desa Boto, menjelaskan bahwa masyarakat Dusun Krasak, warga perempuan banyak menyampaikan ide-ide maupun prioritas-prioritas pembangunan yang akan diajukan oleh Dusun Krasak sendiri. Contohnya adalah pengajuan untuk merawat alat kesenian jawa yang diusulkan oleh salah satu warga perempuan di Dusun Krasak.

Setelah tercapai usulan apa saja yang diajukan oleh Dusun Krasak, Amin selaku Kepala Dusun Krasak menyampaikan usulan tersebut pada saat MUSRENBANG desa untuk disampaikan alasan-alasan dan prioritasnya.  Setelah dicapai kesepakatan setelah MUSRENBANG desa dilaksanakan, kepala dusun menyampaikan hasil MUSRENBANG desa kepada warga dusun agar terjadi transparansi didalam masyarakat Desa Boto sendiri. Menurut Amin, biasanya warga yang hadir dalam MUSRENBANG desa merupakan perwakilan yang diundang secara resmi tetapi jika masyarakat ingin mengetahui hasil MUSRENBANG desa secara langsung, masyarakat diperbolehkan mengikuti pelaksanaan MUSRENBANG desa meskipun tidak aktif didalam forum dan hanya sekedar mendengarkan saja.

Dusun Krasak sendiri menurut Amin Barokah pada saat MUSRENBANG desa terakhir mempunyai beberapa usulan, yang berupa fisik merupakan pembangunan talud dan sudah terealisasi. Dari segi ekonomi adalah kios pasar. Pasar ini tidak dibiayai oleh ADD sehingga usulan tersebut dibawa ke MUSRENBANG di tingkat Kecamatan. Dusun Krasak sendiri juga lebih memfokuskan ke pertanian melalui pengajuan bibit, dan irigasi. Dari kesehatan, Dusun Krasak juga mengajukan dana sehat dan desa siaga yang ditujukan untuk membantu orang-orang yang sakit atau membutuhkan pertolongan.

Dalam hal ini Desa Boto sudah memberikan kesempatan bagi warga perempuan dalam pengambilan keputusan. Usulan perempuan dalam MUSRENBANG di Desa Boto sudah banyak yang berjalan seperti PMT, kelas ibu hamil, pelatihan menjahit dari PNPM Mandiri, pelatihan kader Posyandu. Yang sampai saat ini masih berjalan adalah program kelas ibu hamil dan pelatihan kader Posyandu. Perempuan harus berperan aktif  dalam setiap pembangunan di Desa Boto karena menurut Kepala Desa Boto sendiri, jika perempuan tidak aktif dalam suatu pembangunan, maka pembangunan di desa bisa tertinggal. Warga perempuan di Desa Boto juga turut aktif dalam kegiatan kerja bakti. Warga perempuan sendiri juga harus tahu prioritas pembangunan mana yang harus dilakukan dan penting untuk dilakukan dan ikut dalam pembangunan.

Pada tahun 2015/2016, Sri Andrini selaku ketua seksi umum dan perencanaan di utus untuk mengikuti MUSRENBANG kecamatan bersama ketua PKK dan Sekretaris PKK sebagai perwakilan dari kaum perempuan di Desa Boto. Para perwakilan dari Desa Boto ini mereka harus menyampaikan visi, misi dan tujuan kepentingannya dalam pembangunan yang akan dilakukan di Desa Boto, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk tahun 2017 serta bertugas untuk memperjuangkan hasil usulan agar didanai di Kecamatan karena keterbatasan dana desa. Perwakilan Desa Boto di kecamatan juga harus melakukan lobby-lobby dan presentasi agar usulan dari Desa Boto mendapat ranking sehingga dapat didanai oleh kabupaten

Tahun ini dusun lain juga mengajukan usulan di bidang kesenian, seperti rebana, sementara Dusun Krasak sendiri mengajukan pengadaan fasilitas penunjang dalam kegiatan Drum Band, karena kelompok drum band tersebut sudah dirintis sejak dua tahun yang lalu dan sudah sering tampil di acara-acara seperti peresmian proyek kecamatan dan lain sebagainya. Usulan dari Dusun Krasak sudah banyak terealisasikan dari hasil MUSRENBANG desa, contohnya yaitu pembangunan jalan kampung yang dapat menghubungkan Desa Boto ke desa lainnya. Usulan terakhir adalah jalan yang dapat menghubungkan ke SD, saluran sidu, sedangkan dibidang pertanian adalah benih padi, pupuk berimbang. Salah satu usulan yang diajukan adalah pembangunan sumur gali yang ditempatkan disawah. Dusun Krasak sendiri melihat prioritas usulan yang harus diajukan ke MUSRENBANG desa dilihat dari seberapa penting usulan tersebut harus diajukan ke MUSRENBANG desa.

Menurut Kepala Desa Boto, peran perempuan dalam pembangunan di Desa Boto sudah mencapai sekitar 40%. Dalam pemerintahan Desa Boto sendiri terdapat tujuh dusun, yang tiga diantaranya merupakan kepala dusun perempuan. Anggota perangkat desa sudah sesuai dengan SOTK diluar ketujuh kepala dusun, terdapat lima orang yang satu diantaranya adalah perempuan. Dilihat dari data diatas, pemerintah Desa Boto memiliki total 12 perangkat desa, yang diantaranya adalah tujuh kadus dan lima orang perangkat desa lainnya. Dalam BPD Desa Boto sendiri, sudah terdapat anggota-anggota perempuan lebih dari 30% dari semua anggotanya dan anggota-anggota perempuannya memiliki kredibelitas dalam melakukan tugas-tugasnya.

Menurut Kepala Desa Boto, perempuan merupakan tiang agama dan tiang negara. Jadi dalam Desa Boto, perempuan diberikan peran yang besar dalam banyak hal. Perempuan di Desa Boto memiliki banyak program untuk pembangunan manusia seperti pengajian, Pos Pelayan Terpadu (Posyandu), kelas ibu hamil. Di Desa Boto, terdapat komunitas yang bersinergi dengan bidan desa dengan tujuan utama mencegah adanya permasalahan pada ibu hamil dan balita, serta menjaga mereka dalam keadaan yang baik. Program ini bernama Maternal and Infant Mortality Meeting (M3) yang merupakan program pertemuan yang digagas bersama, dengan target, bagaimana mengupayakan ibu dan anak terutama yang dalam kandungan dalam keadaan baik.

Komunitas ini setiap bulan mengadakan kelas ibu hamil yang dipantau langsung oleh bidan desa, kemudian diperiksa keadaannya apakah termasuk risiko tinggi dalam mengandung atau tidak. Di Desa Boto sendiri juga terdapat Posyandu Lansia yang dijalankan oleh kader-kader posyandu yang mayoritas adalah warga perempuan. Setiap dusun di Desa Boto juga melakukan pengajian rutin yang dilakukan oleh warga perempuan guna memenuhi kebutuhan batin atau rohani.

Menurut Siti Fatimah selaku Ketua PKK Desa Boto mengatakan bahwa PKK di Desa Boto sendiri berjalan aktif. Hal ini dikarenakan PKK memiliki kader-kader sehingga kegiatan PKK berjalan dengan baik. Kegiatan di Desa Boto juga banyak didukung oleh kegiatan kader PKK dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah menanam tanaman toga, memberikan pemahaman kepada warga agar tidak melakukan BAB sembarangan, memberikan pemahaman kebiasaan cuci tangan kepada anak-anak, mengelola dan mengatur kegiatan dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK) dan mengkoordinir kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang didukung oleh kader-kader PKK.

PKK di Desa Boto tidak dibatasi ruang geraknya oleh Kepala Desa, bahkan Kepala Desa mendukung setiap kegiatan yang dijalankan oleh PKK. Pada tahun 2016, PKK diberi anggaran sekitar 30 juta untuk membeli komputer dan printer untuk membuat SPJ. PKK kegiatannya mencakup pengadaan kader-kader Posyandu, Desa Siaga, kelas ibu hamil. Kegiatan ini sudah termasuk anggaran yang disediakan untuk PKK. Di Desa Boto sendiri juga terdapat posyandu lansia yang kegiatannya berupa mengukur berat badan orang-orang lansia dan senam lansia yang dilaksanakan sebulan sekali. Lalu terdapat program penanaman tanaman toga yang diperlukan bagi kebutuhan sehari-hari. Lalu terdapat program yang dinamakan “Ambulan Desa” yaitu penggunaan mobil warga Desa Boto untuk keadaan darurat dalam mengantarkan pasien. Warga yang memiliki mobil didata sehingga jika sewaktu-waktu memerlukan mobil dalam keadaan darurat bisa digunakan. PKK juga menggerakan warga perempuan desa Boto untuk melakukan berbagai kegiatan, salah satunya perempuan ikut melakukan kerja bakti.

Perempuan di Desa Boto, terutama setiap kepala dusunnya, jika ada kegiatan desa selalu mengikuti, seperti pawai, pembangunan, membersihkan makam, dan lain sebagainya. Kepala dusun sendiri menurut Siti Fatimah, harus menggerakan warga untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kepala dusun juga harus berperan aktif dalam mengayomi masyarakat.

 

3.7    Hambatan Yang Dihadapi Oleh Perempuan Di Desa Boto Dalam Hal Pembangunan Desa

Kendala yang dihadapi oleh warga perempuan di desa Boto dalam perannya membangun desa  adalah dimana ada beberapa program yang belum berjalan secara maksimal seperti program darah hidup yang bekerja sama dengan pihak puskemas. Program darah hidup adalah untuk mengetahui golongan darah warga Desa Boto. Hal ini tidak berjalan maksimal karena memerlukan dana dalam melakukan pengecekan darah dan sudah banyak agenda-agenda lain yang lebih diutamakan.

Sedangkan hambatan yang di alami oleh warga perempuan di desa Boto yang di wadahi dalam PKK sendiri adalah dimana warga perempuan yang ada di desa Boto masing kurang dalam partisipasinya mengikuti program-program pembangunan melalui kegiatan PKK. Selain itu juga terdapat program yanag diajukan tidak sepenuhnya terealisasikan seperti pasar di Dusun Krasak karena adanya keterbatasan dana desa sehingga harus diajukan ke tingkat kecamatan. Dari kurangnya partisipasi ini kegiatan PKK sendiri sedikit terhambat dalam pelaksanaanya, jadi di perlukan peraan aktif dari Ketua PKK dan jajarannya dalam meningkatkan partisipasi dari warga perempuan di desa Boto.

 

 

 

 

 

3.8    Analisis Peran Perempuan dalam Pembangunan Desa Boto

Berdasarkan data diatas dapat kita kerucutkan beberapa peran perempuan dalam pembangunan di Desa Boto tersebut seperti :

3.8.1        Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Dalam penjaringan aspirasi di Desa Boto sendiri, dibagi menjadi tiga kelompok yaitu salah satunya adalah Kelompok Perempuan, warga perempuan di Desa Boto diberikan kesempatan dalam Musyawarah Kelompok Perempuan (MKP) untuk memberikan usulan terhadap perencanaan pembangunan. Hal ini dikarenakan jika tidak diberi ruang dan waktu sendiri-sendiri, kelompok perempuan akan kalah oleh tokoh-tokoh yang mempunyai power di Desa Boto.

PKK, kader-kader posyandu, kelompok perempuan memiliki peranan dalam memberi masukan dan usulan kepada Kepala Desa Boto dalam memutuskan proses perencanaan pembangunan desa. Jadi usulan setiap dusun termasuk usulan dari unsur perempuan dikumpulkan kemudian dibawa ke desa untuk dipilih yang mana yang lebih diprioritaskan. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (MUSRENBANG desa) di Desa Boto, terdapat utusan perempuan yang membawa usulan tadi. Jika dalam musyawarah desa ada enam perwakilan, tiga diantaranya adalah perempuan.

Hasil MUSRENBANG Desa Boto kemudian dibawa ke tingkat kecamatan. Perwakilan Desa Boto pada saat mengajukan usulan ke kecamatan sendiri adalah Kepala Desa, Ketua PKK dan juga terdapat perwakilan perempuan. Pada tahun 2015/2016, Sri Andrini ditugaskan untuk mewakili Desa Boto, karena Sri Andrini sendiri adalah Kepala Umum dan Perencanaan di Desa Boto. Di kecamatan, para perwakilan dari Desa Boto bertugas untuk memperjuangkan hasil usulan agar didanai di Kecamatan karena keterbatasan dana desa. Perwakilan Desa Boto di kecamatan juga harus melakukan lobby-lobby dan presentasi agar usulan dari Desa Boto mendapat ranking sehingga dapat didanai oleh kabupaten.

Ketua PKK merupakan salah satu perwakilan dari Desa Boto yang terdiri dari enam orang, tiga utusan tersebut diwakilkan oleh perempuan. Sebagai perwakilan Desa Boto di Kecamatan, mereka harus menyampaikan visi, misi dan tujuan kepentingannya dalam pembangunan yang akan dilakukan di Desa Boto, baik jangka panjang maupun jangka pendek.

Setelah tercapai usulan apa saja yang diajukan oleh Dusun Krasak, Amin selaku Kepala Dusun Krasak menyampaikan usulan tersebut pada saat MUSRENBANG desa untuk disampaikan alasan-alasan dan prioritasnya. Setelah dicapai kesepakatan setelah MUSRENBANG desa dilaksanakan, Kepala dusun menyampaikan hasil MUSRENBANG desa kepada warga dusun agar terjadi transparansi didalam masyarakat Desa Boto sendiri. Dusun Krasak sendiri menurut Amin Barokah pada saat MUSRENBANG desa terakhir mempunyai beberapaa usulan, yang berupa fisik merupakan pembangunan talud dan sudah terealisasi.

Menurut Kepala Desa Boto, peran perempuan dalam pembangunan di Desa Boto sudah mencapai sekitar 40%. Dalam pemerintahan Desa Boto sendiri terdapat tujuh dusun, yang tiga diantaranya merupakan kepala dusun perempuan. Anggota perangkat desa sudah sesuai dengan SOTK diluar ketujuh kepala dusun, terdapat lima orang yang satu diantaranya adalah perempuan. Dilihat dari data diatas, pemerintah Desa Boto memiliki total 12 perangkat desa, yang diantaranya adalah tujuh kadus dan lima orang perangkat desa lainnya. Dalam BPD Desa Boto sendiri, sudah terdapat anggota-anggota perempuan lebih dari 30% dari semua anggotanya dan anggota-anggota perempuannya memiliki kredibilitas dalam melakukan tugas-tugasnya.

Pada saat dilakukan MUSRENBANG, perwakilan dari PKK tetap dilibatkan dalam MUSRENBANG desa sehingga tetap ada perwakilan dari perempuan dalam kegiatan tersebut. Jadi diwajibkan 35% anggota yang hadir adalah unsur perempuan dalam MUSRENBANG dan mereka dapat mengajukan usul atau pendapat dalam MUSRENBANG.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa perempuan di Desa Boto sudah berperan dalam pengambilan keputusan di Desa Boto.

3.8.2        Peran Perempuan dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa Boto

            Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat Desa Boto, karena pada dasarnya jika perempuan tidak aktif dalam suatu pembangunan, maka desa tersebut akan tertinggal. Warga perempuan juga harus tahu prioritas pembangunan mana yang harus dilakukan dan penting untuk dilakukan dan ikut dalam pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat Desa Boto dilakukan dengan  kegiatan yang banyak melibatkan masyarakat misalnya pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) agar perempuan Desa Boto lebih produktif, sehingga mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Selain itu, warga perempuan Desa Boto juga melakukan kegiatan sosial lainnya seperti pengajian, menyantuni anak yatim, menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga), dan lain sebagainya. Bentuk partisipasi perempuan Desa Boto yaitu ikut serta dalam pembangunan infrastruktur (jalan kampung), misalnya dalam membawa pasir atau material lain. Kemudian beberapa warga perempuan yang lain menyiapkan makanan sebagai sumber nutrisi, dan juga terlibat dalam pembangunan seperti pawai, pembangunan, membersihkan makam, dan lain sebagainya.

Pemberdayaan perempuan di Desa Boto tersebut dapat berguna untuk :

a)        Peningkatan Kemampuan Perempuan

Dengan adanya ruang yang diberikan kepada perempuan Desa Boto maka  perempuan Desa Boto bisa mengembangkan diri secara optimal melalui berbagai pelatihan yang dilaksanakan di Desa tersebut.

b)        Peningkatan Kedudukan Perempuan

MUSRENBANG desa dalam pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 30% membuktikan bahwa perempuan memiliki posisi atau kedudukan dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan.

c)        Peningkatan Kesejahteraan Perempuan

Dengan adanya pemberdayaan yang dilakukan maka para perempuan bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada baik berupa sumberdaya alam atau modal fisik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

d)       Peningkatan Kemandirian Perempuan

Dengan adanya kesempatan yang di berikan pada kaum perempuan maka diharapkan perempuan memiliki kepribadian, percaya diri, pendirian tidak bergantung kepada orang lain, mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya, berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab atas keputusannya, serta mengutamakan kebersamaan.

e)        Peningkatan Ketahanan Mental dan Spiritual

Berbagai kegiatan sosial yang dilakukan perempuan Desa Boto diantaranya pengajian dan menyantuni anak yatim, hal ini dapat mencerminkan bahwa para perempuan Desa Boto tidak hanya melakukan kegiatan yang berupa fisik tetapi juga melakukan kegiatan yang bersifat kerohanian.

 
BAB IV

PENUTUP 

A.      Kesimpulan

Dari hasil pembahasan mengenai Peran Perempuan dalam Pembangunan Desa di Desa Boto pada laporan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan desa sudah terlaksanakan dengan adanya bukti para perempuan di Desa Boto ini turut aktif dalam kegiatan-kegiatan desa, seperti MUSRENBANG desa, PKK dan kegiatan-kegiatan lainnya. Para perempuan di Desa Boto ini juga turut aktif dalam pengambilan keputusan, contohnya pada saat MUSRENBANG desa banyak warga perempuan yang turut serta dan juga turut mengajukan usulan. Dalam hal pemajuan perekonomian para warga perempuan mampu membuat kerajinan-kerajinan atau makanan hasil olahan sendiri atau home industry yang kemudian dapat dijual dan juga dapat dipamerkan kepada Dinas UMKM yang nantinya hasil kerajinan tadi dapat dipasarkan pada saat ada kegiatan pameran di tingkat Kabupaten.

Menurut Kepala Desa Boto, peran perempuan dalam pembangunan di Desa Boto sudah mencapai sekitar 40%. Dari peran perempuan yang mencapai sekitar 40% tersebut, ada 3 warga perempuan yang menjadi Kepala Dusun diantara 7 dusun yang terdapat di Desa Boto, dan dalam BPD Desa Boto sendiri, sudah terdapat anggota-anggota perempuan lebih dari 30% dari semua anggotanya dan anggota-anggota perempuannya memiliki kredibilitas dalam melakukan tugas-tugasnya. Jadi, para perempuan sudah berperan dalam pengambilan keputusan di Desa Boto.

 

B.       Saran

Untuk warga perempuan lainnya di Desa Boto seharusnya lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Terutama dalam hal pengambilan keputusan, pada saat MUSRENBANG desa para perempuan turut serta dalam mengajukan usulan-usulan yang akan disampaikan agar dapat terealisasikan. Karena mengingat banyak usulan yang belum terealisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Fitria Damayanti, S.E.,M.M.. 2015. Peran Kepemimpinan Wanita dan

     Keterlibatanya dalam Bidang Politik di Indonesia. Jurnal. Fakultas Ilmu Sosial

     dan Ilmu Politik UNWIR Indramayu, Jurnal Aspirasi (Februari 2015), Vol. 5

     No.2

Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014

     tentang Desa. UU RI Nomor 6 Tahun 2014

Sofiani, Triana. 2009. Membuka Ruang Partisipasi Perempuan dalam

     Pembangunan. Jurnal Muwazah, (Januari-Juni 2009), Vol. 1, No: 1 hal. 63-72

Ahdiah Indah. 2013. Peran-Peran Perempuan dalam Masyarakat. Jurnal

     Academica, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNTAD (Oktober 2013),

     Vol. 5 No.2