Selasa, 01 Agustus 2017

ANALISIS PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU


RUU PRIORITAS PROLEGNAS 2017

“PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU”

 

URGENSI

Tata kelola pemilu sebagai subkajian pemilu terdiri atas empat aspek : peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu, proses penyelenggaraan pemilu, badan penyelenggaraan pemilu, dan sistem penegakan hukum pemilu. Dari keempat aspek, aspek pertama (hukum pemilu) merupakan aspek paling penting karena lima alasan. Prosedur yang digunakan untuk setiap tahapan pemilu harus memenuhi dua syarat: sesuai asas-asas pemilu demokratis dan mengandung kepastian hukum. Pemilu berkualitas dapat dicapai bila terdapat partisipasi warga negara sebagai anggota partai, pemilih, konstituen, dan pembayar pajak. Partisipasi ini perlu diatur secara lengkap akses dan salurannya di peraturan perundang-undangan.

Rakyat akan menerima hasil pemilu sebagai berlegitimasi secara politik dan hukum tak hanya bila hasil pemilu berintegritas (bukan hasil manipulasi, tetapi hasil penghitungan jujur). Untuk menjamin ini, perlu peraturan perundang-undangan yang mengatur dua hal. Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur lengkap ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu yang dapat tuntas ditegakkan beberapa hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu. Kedua, peraturan perundangan yang mengatur satu atau dua institusi dan mekanisme penegakan ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu.

Untuk menjamin pengaturan pemilu yang memenuhi kedua syarat, diperlukan kodifikasi empat UU mengenai pemilu menjadi satu Kitab Hukum Pemilu berdasarkan asas, tujuan, parameter, dan sistematika tertentu. Mengingat lingkup cakupan keempat UU mengenai pemilu itu begitu luas, apakah keempatnya dapat diintegrasikan menjadi satu Kitab Hukum Pemilu. Keenam aspek yang sama adalah asas pemilu, daftar pemilih, proses penyelenggaraan tahapan pemilu, parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pola partisipasi politik warga negara, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu.

Kodifikasi atau Kitab Hukum Pemilu diperlukan untuk Pengaturan setiap jenis pemilu dengan UU tersendiri menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam bentuk kontradiksi dan duplikasi antar-UU maupun perumusan berbagai aspek proses penyelenggaraan pemilu yang tanpa standardisasi dalam nomenklatur dan lingkup pengertian.

Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu yang perlu sesegera mungkin mulai disusun, maka perlu dikaji kembali apakah benar MK dalam Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak? Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Sejatinya, Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 memiliki amar yang pada pokoknya menyatakan bahwa Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hal yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam hal kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 adalah mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya       tidak    menegaskan bahwa semua partai politik peserta pemilu langsung dapat mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu.

Untuk menjamin agar UU Pemilu tidak saja dirumuskan berdasarkan empat prinsip demokrasi (hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu, Asas-asas Pemilu Demokratik, Pemilu yang Berintegritas, dan Pemilu yang Berkeadilan) tetapi juga memiliki kepastian hukum. Hukum Pemilu dan Kepastian Hukum dalam pengaturan Pemilu merupakan hal yang sangat esensial dalam proses penyelenggaraan Pemilu sehingga menjadi salah satu indikator Pemilu yang Demokratik. Hukum pemilu dan Kepastian hukum dalam Pemilu dipandang penting karena empat sebab. Pertama, dari satu segi Pemilihan Umum dapat dirumuskan sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar pasangan calon untuk memperebutkan hal yang sama, yaitu kursi penyelenggara negara. Karena jumlah jabatan yang diperebutkan sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah yang mengejarnya (jumlah jabatan lebih sedikit daripada pihak yang hendak memperebutkannya), dan berbagai pihak yang terlibat dalam persaingan itu memandang jabatan itu sebagai amat sangat penting, maka Pemilu sebagai persaingan (konflik politik) akan cenderung berlangsung ketat dan keras.

Untuk mencegah kekerasan dalam persaingan tersebut, dan terutama juga untuk menjamin persaingan yang bebas dan adil diantara Peserta Pemilu atau antar pasangan calon, maka diperlukan hukum Pemilu yang berisi penjabaran empat prinsip Pemilu demokratik (hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu, Pemilu Berintegritas, dan Pemilu yang Berkeadilan). Pemilu sebagai persaingan antar Peserta Pemilu atau antar pasangan calon yang diatur dengan hukum Pemilu seperti inilah yang acapkali disebut sebagai konflik politik yang dilembagakan.

SUBSTANSI

            UU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/ mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak.

            Memaknai Putusan MK No 22-24/PUUVI/2008 untuk Pemilu Serentak 2019 sistem Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata masih menimbulkan banyak masalah.Sehingga kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, apakah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka Pemilu serentak tahun 2019 apakah masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau kembali ke sistem proporsional tertutup.

Untuk menciptakan sistem politik demokrasi yang pada gilirannya menghasilkan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif, maka harus ada beberapa aspek dalam Pemilu dan penyelenggaraan Pemilu untuk dituangkan menjadi RUU Pemilu yang mencakup asas-asas pemilihan umum, sistem pemilihan umum, proses penyelenggaraan Pemilu, para aktor utama yang berperan dalam penyelenggaraan Pemilu, pola partisipasi masyarakat dalam Pemilu, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu.

Asas-asas Pemilu

Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terdapat enam asas pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Akan tetapi semua undang-undang yang mengatur pemilihan umum di Indnesia (dan juga negara demokrasi lainnya) menambah dua asas lagi, yaitu asas transparansi dan akuntabilitas yang merupakan dua indikator Pemilu yang Berintegritas. Berikut merupakan penjelasan singkat setiap asas, sedangkan penerapannya dalam proses penyelenggaaan Pemilu akan dikemukakan pada setiap tahapan Pemilu yang relevan. Selain kedelapan asas ini juga diperlukan sejumlah prinsip demokrasi lainnya. Selain kepastian hukum, prinsip lain yang harus menuntun perumusan undang-undang tentang pemilihan umum adalah hak-hak politik warga negara yang berkaitan dengan Pemilu (electoral right principles), integritas Pemilu (electoral integrity), dan keadilan Pemilu (electoral justice). Kedelapan asas Pemilu demokratik itu bersama dengan ketiga prinsip terakhir ini tidak saja akan menjadi penuntun perumusan proses penyelenggaraan Pemilu tetapi juga menjadi parameter mengukur Pemilu demokratik.

Asas umum (universal suffrage) merupakan asas yang pertama yang menyatakan setiap warga negara yang telah mencapai umur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin, berhak memilih. Faktor jenis kelamin, suku, agama, ras, status Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia ekonomi, latar belakang keturunan, kasta, pekerjaan, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan pisik dan mental, pemukiman, status hukum, dan tempat tinggal tidak boleh membatasi hak pilih seseorang. Asas bebas mempunyai arti pemilihlah yang menentukan siapa atau partai apa yang akan dipilih tanpa tekanan, paksaan atau ancaman dalam bentuk apapun dari siapun juga. Asas langsung berarti pemilih sendirilah yang memberikan suaranya tanpa perantara siapapun. Asas rahasia berarti tidak ada seorangpun juga yang dapat mengetahui siapa atau partai apa yang dipilih.

Asas jujur mempunyai dua arti: pemilih memberikan suara karena pilihan sendiri bukan karena disuap dengan sembako dan/atau uang; dan penyelenggara dan pelaksana Pemilu mengidentifikasi pilihan pemilih dan menghitung suara pemilih tanpa manipulasi baik sengaja maupun tidak disengaja. Asas adil mempunyai dua arti: setiap pemilih mempunyai hak satu suara dan bernilai setara dan karena itu seorang pemilih dilarang memberikan suara lebih dari satu kali baik di TPS yang sama maupun di TPS yang berbeda; dan penyelenggara dan pelaksana Pemilu memperlakukan setiap pemilih dan peserta Pemilu secara setara. Asas transparansi berarti masyarakat dapat melihat, mendengar dan membaca apa yang dikerjakan oleh penyelenggara dan pelaksana Pemilu. Dan asas akuntabel berarti penyelenggara dan pelaksana Pemilu wajib menjelaskan apa yang dikerjakan dan wajib menjawab pertanyaan dan keberatan pemilih, saksi, dan unsur masyarakat lainnya. Penerapan kedelapan asas ini secara konkrit paling tampak pada pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara TPS di berbagai tingkatan.

Sistem Pemilihan Umum Berikut akan dikemukakan rekomendasi untuk sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, sistem pemiihan umum anggota DPD, sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dan sistem pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

 Sistem Pemilu Anggota DPR dan DPRD

Sistem Pemilu yang diusulkan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Partai yang Ditetapkan secara Demokratis. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menetapkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia partai politik sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, partai politiklah yang:

(a)    berkompetisi dalam Pemilu Anggota DPR dan DPRD untuk mendapatkan simpati

dan kepercayaan dari pemilih;

(b)   menetapkan daftar calon;

(c)    menentukan Visi, Misi dan Program Partai sebagai materi kampanye Pemilu;

(d)   mengkoordinasi pelaksanaan kampanye Pemilu berdasarkan strategi dan metode yang ditetapkan sendiri;

(e)    dipilih oleh pemilih dalam pemungutan suara;

(f)    berhak mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan keputusan KPU tentang Hasil Pemilu bila memiliki bukti
pendukung;

(g)   memiliki kursi di DPR dan DPRD (bila berhasil mencapai jumlah suara
yang ditentukan) sedangkan calon yang ditetapkan sebagai anggota DPR
dan DPRD adalah pengisi kursi partai; dan

(h)   mempertanggung-jawabkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye
Pemilu.

Dengan peran Partai sebagai Peserta Pemilu seperti ini, sistem pemilihan umum tidaklah bisa lain selain Sistem Pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Partai yang ditentukan secara demokratis. Rincian setiap unsur Sistem Pemilu Proporsional Daftar Partai yang Ditentukan secara Demokratis adalah sebagai berikut. Jumlah anggota DPR tetap sebanyak 560 kursi. Jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan jumlah anggota DPRD Provinsi berdasarkan jumlah penduduk mengikuti apa yang ditetapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 karena sudah menjamin keterwakilan yang kurang lebih setara seluruh Indonesia. Alokasi kursi DPR kepada semua provinsi di Indonesia tidak mungkin berdasarkan prinsip kesetaraan antar warga negara alias ‘satu orang, satu suara dan satu nilai’ (equal representation) selama kedudukan DPD belum setara dengan DPR. Pembagian kursi DPR kepada semua provinsi baru dapat dilakukan berdasarkan jumlah penduduk apabila DPD mempunyai kewenangan membuat Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia undang-undang yang menyangkut kepentingan daerah. Hal ini hanya mungkin bila dilakukan Perubahan UUD mengenai kedudukan DPD dalam pembuatan undangundang yang menyangkut kepentingan daerah.

Bila perubahan seperti ini dalam waktu dekat belum memungkinkan, maka harus diajukan alternatif lain untuk alokasi kursi DPR kepada provinsi selain yang dilaksanakan sejak Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Sebagaimana dikemukakan pada Bab 2, alokasi kursi DPR sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran UU Nomor 8 Tahun 2012 sangat tidak adil, bahkan lebih buruk daripada alokasi kursi DPR pada Pemilu 2004. Berikut adalah alternatif kriteria alokasi kursi DPR kepada provinsi yang dipandang lebih adil daripada alokasi kursi yang berlaku pada tiga kali Pemilu terakhir. Alternatif yang ditawarkan ini akan menciptakan kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Pulau Jawa, dan kesetaraan keterwakilan antar provinsi di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi ‘harga’ satu kursi DPR di provinsi wilayah Pulau Jawa akan lebih ‘mahal’ daripada harga satu kursi DPR di provinsi wilayah Luar Pulau Jawa. Jelas situasi ini tidak ideal karena belum menjamin kesetaraan antar warga negara Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa dengan yang tinggal di Luar Pulau Jawa. Akan tetapi ‘keadaan yang tidak ideal’ ini masih jauh lebih baik daripada yang terjadi sekarang di mana harga satu kursi DPR di sejumlah provinsi di Luar Pulau Jawa lebih mahal daripada harga satu kursi di semua provinsi di wilayah Pulau Jawa, dan provinsi yang memiliki kursi terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk (over representation) dan provinsi yang mendapat kursi lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya (under representation) keduanya berada di Luar Pulau Jawa. Kriteria yang digunakan untuk alokasi kursi DPR kepada semua provinsi adalah sebagai berikut:

(a)    Kursi DPR dibagi dua: 280 kursi DPR untuk provinsi di Pulau Jawa dan 280 kursi DPR untuk provinsi di Luar Pulau Jawa;

(b)   Untuk menjamin kesetaraan antar provinsi, setiap provinsi mendapat alokasi kursi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kursi sedangkan tambahan alokasi
berikutnya disesuaikan dengan jumlah penduduk setiap provinsi; Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

(c)    Sebanyak 280 kursi DPR akan dialokasikan kepada 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan salah satu metode apportionment yang dianggap paling proporsional;

(d)   Di Luar Pulau Jawa terdapat 3 (tiga) provinsi yang dari segi jumlah penduduk hanya akan memperoleh 1 (satu) atau 2 (dua) kursi, yaitu Provinsi Kalimantan
Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Gorontalo. Dari segi jumlah
penduduk ketiga provinsi ini tidak cukup untuk mendapatkan 3 (tiga) kursi.80
Akan tetapi untuk menjamin kesetaraan provinsi, masing-masing provinsi
tersebut dijamin mendapat alokasi 3 (tuga) kursi.

(e)    Sebanyak 280 kursi DPR untuk provinsi Luar Pulau Jawa dikurangi 9
(sembilan) kursi (Gorontalo 3 kursi, Papua Barat 3 kursi dan Kalimantan
Utara 3 kursi). Sisanya sebanyak 271 kursi ini dialokasikan kepada 25 provinsi
lainnya berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan metode
apportionment yang dipandang paling proporsional (Kuota, Jefferson atau
Webster).

(f)    Jumlah penduduk yang digunakan hendaklah yang akurat dan bebas dari
kepentingan politik sepihak. Yang lebih memenuhi kedua syarat ini adalah
data hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Karena alokasi kursi DPR ini dimaksudkan untuk Pemilu 2019, maka data
penduduk yang harus digunakan adalah hasil Sensus Penduduk 2010 yang
disesuaikan dengan rata-rata tingkat pertambahan penduduk untuk Tahun
2019.

(g)   Yang melakukan alokasi kursi berdasarkan kriteria ini dan yang melakukan
pembentukan Daerah Pemilihan berdasarkan sejumlah prinsip yang
ditetapkan dalam Undang-Undang hendaklah lembaga yang independen.
KPU merupakan lembaga yang tepat melaksanakan tugas ini baik untuk alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR maupun alokasi kursi dan pembentukan Dapil DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota.

(h)   Sebelum menetapkannya sebagai Keputusan KPU, draft alokasi kursi dan
draft Dapil tersebut wajib dikonsultasikan secara terbuka dengan publik
sehingga tidak saja semua pemangku kepentingan memahami kedua hal itu
tetapi juga ikut berpartisipasi memperbaiki bila terjadi kekeliruan.

Proses Penyelenggaran Pemilu

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Pemilu (Electoral Manajement Body) adalah lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan kegiatan esensial pemilihan umum, seperti penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan peserta Pemilu, pendaftaran dan penetapan calon, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil Pemilu dan penetapan calon terpilih. Dalam pengertian ini yang dapat dikategorikan sebagai Badan Penyelenggara Pemilu diIndonesia hanyalah Komisi Pemilihan Umum. Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak dapat dikategorikan sebagai Badan Penyelenggara Pemilu tetapi kedua lembaga itu memiliki peran sangat penting dalam Pemilu.

Para Aktor Utama Yang Berperan Dalam Penyelenggaraan Pemilu

Yang dimaksud dengan para akror utama Pemilu di sini adalah Peserta Pemilu dan Calon, Penyelenggara Pemilu dan Panitia Pemungutan Suara, dan Partisipasi Warga Masyarakat. Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Partai Politik. Peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan. Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Peserta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perseorangan.

 

Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu

Tugas pengawasan terhadap proses penyelenggaraan Pemilu dikembalikan kepada masyarakat sebagai bagian dari partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Unsur masyarakat yang dimaksud di sini adalah pemilih, kelompok relawan, pemantau Pemilu, LSM, lembaga survey, partai politik Peserta Pemilu, dan media massa. Para mahasiswa dalam rangka KKN ataupun proses pembelajaran juga dapat melibatkan diri dalam proses pengawasan atas Pemilu. Termasuk Untuk mendorong dan memfasilitasi pengawasan Pemilu dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu, Pemerintah dan DPR perlu menyediakan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran Pemilu. Dana ini akan dialokasikan untuk kegiatan pemantauan Pemilu, pendidikan pemilih, dan pelaporan atas dugaan pelanggaran Peraturan Pemilu yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat.

 Untuk mengelola Dana Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu ini Presiden perlu membentuk Komisi yang beranggotakan dari berbagai kalangan, seperti Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi yang mendalami Pemilu, Sekto Swasta, dan kalangan professional lain. Tugas Komisi ini merumuskan kriteria dan mekanisme kalangan masyarakat memperoleh dana tersebut.

Tujuan utama partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan tahapan Pemilu adalah memastikan agar proses penyelenggaraan Pemilu sebagai mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada Peserta Pemilu berlangsung sesuai dengan asas-asas Pemilu yang demoktratis, dan memastikan agar hasil Pemilu yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU sesuai dengan suara yang disampaikan pemilih di TPS. Tujuan lain adalah memastikan agar pemilih memberikan suara pada Pemilu secara cerdas berdasarkan informasi yang lengkap dan akurat.Karena itu bentuk partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam  proses penyelenggaraan Pemilu bukan hanya pemantauan dan pengawasan tetapi juga berbagai bentuk kegiatan lain sebagai berikut:

1.                     Melaksanakan Sosialisasi Pemilu.

2.                     Melaksanakan Pendidikan Pemilih.

3.                     Memberikan Suara sebagai Pemilih.

4.                     Menulis atau Menyiarkan Berita tentang Pemilu.

5.                     Mendukung Peserta Pemilu/Calon tertentu.

6.                     Mengorganisasi Warga lain untuk Mendukung atau Menolak Alternatif Kebijakan

7.                     Publik yang Diajukan Peserta Pemilu tertentu.

8.                     Menyampaikan Pengaduan tentang Dugaan Pelanggaran Pemilu.

9.                     Melakukan Survey dan Menyebar-luaskan Hasil Survey tentang pendapat atau

10.                 persepsi pemilih Tentang Peserta Pemilu/Calon.

11.                 Melaksanakan dan Menyebar-luaskan Hasil Perhitungan Cepat Pemilu (Quick

12.                 Count) dan Exit Poll.

13.                 Merekem dan menyebar-luaskan Hasil Penghitungam Suara setiap TPS melalui

14.                 berbagai media.

 

Sistem Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pemilu

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu parameter Pemilu Demokratik adalah sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan Tepat Waktu. Secara umum Hasil Pemilu akan diterima oleh rakyat bila delapan parameter Pemilu Demokratik mencapai derajad tinggi. Akan tetapi secara sederhana Rakyat pada umumnya (bukan orang terpelajar, bukan kalangan menengah Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau mereka yang berkiprah pada kajian demokrasi dan HAM) akan menerima Hasil Pemilu bila terpenuhi dua persyaratan berikut: (a) hasil Pemilu yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU berintegritas (bebas manipulasi), dan (b) semua pelanggaran dan sengketa Pemilu berhasil ditegakkan secara adil sebelum Hasil Pemilu ditetapkan  dan diumumkan oleh KPU. Rakyat akan menerima Hasil Pemilu secara tidak penuh bila Hasil Pemilu berintegritas tetapi penegakan hukum dan sengketa Pemilu dilaksanakan setelah KPU menetapkan dan mengumumkan Hasil Pemilu. Rakyat tidak akan menerima Hasil Pemilu bila kedua indikator tersebut dinilai tidak terpenuhi secara memadai.

Untuk mencapai parameter ini sejumlah rekomendasi berikut perlu dimasukkan kedalam Kitab Hukum Pemilu.

(1)   Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP) beserta sanksinya dirumuskan

secara lengkap dalam UU Pemilu.

(2)   Ketentuan Pidana Pemilu (KPP) terutama diprioritaskan pada berbagai

aspek yang berkaitan langsung dengan parameter Pemilu Demokratik, seperti pelanggaran yang berpengaruh langsung terhadap hasil penghitungan suara, pelanggaran yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan calon, pelanggaran berupa ancaman kekerasan terhadap pemilih, peserta, penyelenggara dan unsur organisasi masyarakat sipil (pemantau, wartawan, dan lembaga survey), dan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dan pelaksana Pemilu.

(3)   KPP tidak membedakan pelanggaran dari kejahatan tetapi sejumlah pelanggaran dikenakan Sanksi kurang dari satu tahun dan sebagian besar pelanggaran dikenakan Sanksi satu atau lebih tahun hukum penjara. Sanksi atas pelanggaran KPP dirumuskan dalam bentuk pidana penjara dan denda. Sanksi berupa pidana penjara dirumuskan dalam bentuk “paling singkat sekian tahun” dan “paling lama sekian tahun,’ sedangkan sanksi denda dirumuskan dalam bentuk “sediki-dikitnya sekian juta rupiah” dan “sebanyak-banyaknya sekian ratus juta.” Hal ini dimaksudkan agar Majelis Hakim dapat membuat putusan yang menjamin rasa adil.

(4)   Proses penegakan KAP dan KPP tidak boleh mengganggu pelaksanaan tahapan pada Fase Penyelenggaraan Pemilu tanpa mengurangi kesempatan semua pihak membuktikan kasusnya. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

(5)   Penegakan KAP dan KPP, khususnya pelanggaran yang berdampak pada hasil penghitungan suara, harus sudah tuntas paling lambat 3 (tiga) hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil Pemilu.

(6)   Penyederhanaan sistem penegakan hukum diusulkan sebagai berikut. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditransformasi menjadi Badan Penegak Hukum Pemilu dengan tugas dan kewenangan dan persyaratan keanggotaan yang berbeda dari Bawaslu. Badan Penegak Hukum Pemilu bertugas:

(a)    Menegakkan KAP (menampung pengaduan, mengadakan penyelidikan, mendengar pihak terkait, dan mengambil putusan);

(b)   Menegakkan Ketentuan tentang Dana Kampanye Pemilu (menampung pengaduan, mengadakan penyelidikan/penyidikan, mendengarkan pihak terkait, dan mengambil putusan);

(c)    Melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran KPP dan mengajukan tuntutan atas dugaan pelanggaran KPP di depan Pengadilan Khusus Pemilu yang dibentuk di setiap Pengadilan Negeri;

(d)   Menyelesaikan sengketa administrasi Pemilu antara Peserta Pemilu dengan KPU; dan mempertahankan Putusan yang diambil di PTUN bila Peserta Pemilu dan/atau KPU naik banding;

(e)    Menyelesaikan sengketa antar Peserta Pemilu.

(7)   Perselisihan Hasil Pemilu, termasuk Pilkada, diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

(8)   Jumlah anggota Badan Penegak Hukum Pemilu diusulkan 9 orang, yaitu 4 orang Sarjana Hukum (Hukum Pidana 2 orang dan Hukum Administrasi 2 orang), 3 orang Sarjana Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan 2 orang Sarjana Akuntansi. WNI yang dapat menjadi anggota Badan ini adalah:

(a)    berusia sekurang-kurangnya 45 tahun

(b)   berpendidikan serendah-rendahnya S1 dalam bidang Hukum, bidang Ilmu Politik mengenai Pemilu, dan bidang Akutansi

(c)    berpengalaman dalam bidang yang dilamar sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun yang menunjukkan rekam-jejak yang bagus. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia

(d)   Lulus seleksi yang dilakukan secara terbuka dan kompetitif.

(9)   Badan Penegak Hukum Pemilu terdiri atas anggota yang mempunyai kedudukan yang setara, dan Sekretariat Jendral. Rapat Pleno Anggota Badan membuat keputusan, sedangkan Sekretariat Jendral bertugas: menyiapkan rancangan keputusan Badan berdasarkan bukti, data dan dokumen hukum, dan melaksanakan keputusan Badan. Sekretariat Jendral terdiri atas pegawai Badan yang terdidik dan terlatih dalam bidang tugasnya. Sekretariat Jendral terdiri atas seorang Sekretaris Jendral yang bertugas mengelola sistem pendukung administrasi dan keuangan, 3 orang Deputi (Deputi Penegakan Hukum Pemilu, Deputi Penyelesaian Sengketa Pemilu, dan Deputi Pelatihan dan Pengembangan), dan seorang Inspektur Jendral.

IMPLIKASI

Dalam rangka mementum perbaikan pelaksanaan Pemilu, terutama pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019 melalui RUU Kitab Hukum Pemilu, pembentuk undang- undang berkeinginan untuk kembali ke sistem nomor urut, maka hal ini tidaklah bertentangan dengan Putusan MK No 22- 24/PUU-VI/2008.

DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak. Perlu dikaji apakah semua partai politik yang telah berbadan hukum dan lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, dapat ikut dalam Pemilu Serentak 2019? Ataukah partai politik yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014.

RUU Kitab Hukum Pemilu dapat dilaksanakan secepatnya mulai  tahun 2016 ini, sebagaimana RUU ini telah masukdalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016, hal ini juga dikarenakan bilamana ada yang kemudian mengajukan judicial review   atas   RUU   Kitab   Hukum Pemilu.

UU Pemilu yang terintegrasi berdasarkan asas, tujuan, dan parameter yang sama dan sistimatika tertentu hendak mencapai 10 tujuan berikut:

1)             menyederhanakan sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD sehingga mudah dipahami oleh pemilih pada umumnya;

2)             menyederhanakan sistem hasil Pemilu terutama rekapitulasi hasil perhitungan suara dengan mengurangi jumlah tingkat rekapitulasi dan/atau penggunaan perangkat elektronik untuk rekapitulasi (erecapitulation);

3)             menciptakan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang Adil dan Tepat Waktu dengan menjamin pengaturan yang menjamin kepastian hukum dan penyederhanaan lembaga penegak hukum Pemilu;

4)             menghilangkan insentif (dan mengenakan disinsentif) bagi calon, pemilih dan petugas pemungutan dan penghitungan suara untuk melakukan transaski jual-beli suara;

5)             mendorong profesionalisasi penyelenggara Pemilu;

6)             melaksanakan kalender Pemilu (Pemilu Nasional terpisah 30 bulan dari Pemilu Lokal) yang mampu mendorong konsolidasi demokrasi;

7)             menciptakan pola partisipasi politik warga negara sebagai: anggota partai, pemilih, konstituensi, dan pembayar pajak;

8)             menciptakan partai politik yang tidak hanya secara internal dikelola secara demokratik tetapi juga sumber penerimaan yang berimbang dari Negara, masyarakat dan Internal Partai; yang tidak hanya berorientasi pada Kebijakan Publik berdasarkan aspirasi konstituen dan ideologi partai tetapi juga mampu melaksanakan dua fungsi utama partai dalam Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia mendukung demokrasi perwakilan dan menggerakkan pemerintahan demokratis; dan menciptakan sistem kepartaian pluralisme moderat;

9)             menciptakan sistem perwakilan politik yang menempatkan Partai Politik Pesrta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi Daerah Pemilihan dan akuntabel kepada Daerah Pemilihan;

10)         menciptakan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif;

11)         menciptakan UU Pemilu yang dapat bertahan lama sehingga semua pihak memiliki waktu yang memadai untuk meresapkan dan memahami semua ketentuan Pemilu; dan

12)         mendorong proses konsolidasi demokrasi sehingga demokrasi menjadi the only game in town (menjadikan demokrasi menjadi satu-satunya aturan main dalam ranah publik, termasuk/terutama di dalam Partai Politik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar