Selasa, 01 Agustus 2017

Overview Buku Karangan Clifford Geertz


OVERVIEW BUKU KARANGAN CLIFFORD GEERTZ
“ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI DALAM KEBUDAYAAN JAWA“

Buku Clifford Geertz ini adalah merupakan karya yang mendasarkan kajiannya pada tesis utama bahwa masyarakat Jawa dilihat dari sudut pandang pelaksanaan tindak keagamaan dan afiliasi domisili yang terbagi kedalam tiga varian keagamaan yakni abangan, santri dan priyayi. Clifford Geertz juga mengambil penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto yang didasarkan pada kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik. Dia kemudain menemukan tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Secara sederhana abangan diasosiasikan dengan petani yang tinggal di desa-desa dan dipandang sebagai varian yang lebih dekat dengan pemahaman animisme dalam orientasi keagamaannya atau kepercayaan  terhadap adanya makhluk halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Sedangkan santri adalah varian didominasi kalangan pedagang yang memegang kendali pasar meski bukan sebagai pedagang dalam skala besar dan diasosiasikan dengan penganut ajaran Islam yang taat. Dan yang terkahir adalah varian priyayi merupakan kelompok yang menduduki elit kekuasaan dengan posisi-posisi pemerintahan dan seringkali diasosiasikan dengan kota serta lebih dekat dengan ajaran mistik dalam orientasi keagamaannya.

Artikulasi Keyakinan

Dalam buku The Religion Of Java: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, Clifford Geertz memandang orang jawa dengan orientasi yang berbeda-beda memiliki cara yang beragam dalam mengartikulasikan keyakinan mereka. Kalangan abangan mengekspresikan keyakinan mereka dengan upacara slametan di mana tujuan akhir dari upacara tersebut adalah terciptanya harmoni dalam kehidupan mereka dan dihubungkan dengan roh-roh yang bagi mereka senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka setiap saat. Kalangan santri sebagai kalangan yang taat kepada Islam mengekspresikan keyakinan mereka melalui pengamalan yang taat terhadap ajaran-ajaran Islam dan semua itu ditujukan kepada Allah SWT, Kalangan santri diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih murni bukan saja pada tatacara pokok peribadatannya, namun juga dalam keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial. Kalangan Priyayi tidak menekankan pada elemen animistik dari sinkrestisme Jawa seperti kaum abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme.

Clifford Geertz dapat memahami agama Jawa melalui praktek-praktek keagamaan orang Jawa dan berbagai penafsiran simbol-simbol yang digunakan oang Jawa dalam mengartikulasikan kepercayaan-kepercayaan mereka dalam aktivitas-aktivitas yang sangat kompleks.

Tiga varian keagamaan; abangan, santri dan priyayi

Temuan Clifford Geertz terhadap identifikasinya yang trikotomis dan menganggap identifikasi ini sebagai identifikasi yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri yakni pembagian masyarakat Jawa menjadi tiga varian abangan, santri dan priyayi.

1.    Abangan

Varian abangan merupakan varian keagamaan yang menitikberatkan aspek animistis dari sinkretrisme Jawa sebagai pola keagamaannya dan senantiasa dihubungkan dengan petani yang tinggal di pedesaan (Clifford Geertz : 8). Clifford Geertz sedari awal menyadari bahwa terma abangan menjadi mudah dimengerti dalam penghadap-hadapannya dengan terma santri. Yang pertama mewakili kelompok yang tidak memedulikan doktrin keagamaan (Islam) dan terlampau memerhatikan detail ritual sedangkan yang kedua merupakan sisi kebalikannya.

Meskipun demikian Clifford Geertz tampak lebih menganggap terma abangan sebagai varian keagamaan yang dalam hal ini bukan hanya bermakna ketika dilihat dalam penghadap-hadapannya dengan santri tetapi juga dengan priyayi. Hal penting yang dapat dicatat di sini adalah pernyataan Clifford Geertz bahwa kategori-kategori atau varian-varian yang dia kemukakan tidak diperlakukannya secara absolut meskipun seringkali uraiannya mengindikasikan sebaliknya.

Abangan dalam kacamata Clifford Geertz menampilkan sosok yang cukup menarik. Di satu sisi abangan mewakili kelompok yang abai dengan pelaksanaan doktrin keagamaan yang ketat bahkan dalam banyak kesempatan menentangnya di sisi lain abangan menampilkan wujud kasar dari perilaku priyayi. Dalam hal ini beberapa contoh diajukan Clifford Geertz antara lain kesenian-kesenian tinggi priyayi yang di tangan kelompok abangan menjadi seni kasar, praktek mistik yang oleh priyayi sangat dijunjung tinggi di tangan abangan berubah menjadi praktik perdukunan, minat kepada pengalaman keagamaan individual di tangan abangan menjadi minat kepada keagamaan kelompok.

Dengan demikian Clifford Geertz memandang perbedaan antara abangan dengan santri lebih dilihat dalam kaitannya dengan orientasi keagamaan atau ketaatan seseorang terhadap agama sementara perbedaan antara abangan dengan priyayi lebih didasarkan pada "segi isi budaya" di mana orientasi priyayi dan abangan "untuk sebagian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing-masingnya".

Uraian Clifford Geertz tentang varian abangan didominasi oleh kajiannya mengenai slametan. Slametan dalam pandangan Clifford Geertz Slametan adalah "versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya". Clifford Geertz juga menganggap slametan sebagai "upacara dasar yang inti di sebagian masyarakat Mojokuto di mana pandangan dunia abangan paling menonjol".

Penjelasan Clifford Geertz yang sangat detail mengenai upacara slametan di kalangan abangan membawa kepada penyimpulan bahwa di mata Clifford Geertz slametan bagi kelompok abangan adalah segala-galanya dan menempati posisi sentral.

2.    Santri

Santri merupakan varian yang memiliki kecenderungan ketaatan kepada ajaran-ajaran Islam. Clifford Geertz menyebutnya sebagai kalangan "yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang (dan kepada elemen tertentu di kalangan tani juga)".

Mengidentifikasi varian santri tentu lebih mudah karena afiliasinya kepada ajaran Islam mempermudah pelacakan kepada dogma-dogma maupun nilai moral yang umum dianut di kalangan Islam. Namun demikian santri dalam pandangan Clifford Geertz tidak sesederhana sebagaimana pemeluk agama Islam di belahan duania lainnya. Terdapat dua orientasi utama yang sebagaimana disebut dalam bagian terdahulu yakni adanya kelompok konservatif dan kelompok moderen. Kedua kelompok tersebut pada saat dilakukan penelitian Clifford Geertz (sekitar dekade 50-an) telah menunjukkan rivalitasnya yang intens dan berlanjut hingga hari ini. Lima pasang pertentangan antara konservatif dan moderen dalam kalangan santri dapat dilihat pada tabel berikut :

No
Konservatif
Moderen
1
Tekanan terutama diberikan pada hubungan dengan Tuhan di mana penerimaan rahmat dan berkat sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai ganjaran untuk keteguhan moral dan pengertian bahwa nasib ditetapkan oleh kehendak Tuhan (fatalis)
Menitikberatkan hubungan dengan Tuhan dalam mana kerja keras dan penentuan nasib sendiri jadi titik beratnya
2
agama bersifat kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan, di mana semua segi usaha manusia cenderung menerima makna keagamaan dan di mana batas antara apa yang bersifat keagamaan dan sekuler cenderung kabur
Memegang pengertian yang sempit tentang agama di mana hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di mana batas antara apa yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam
3
Secara umum berorientasi unifikasi terhadap kultur setempat
Menuntut Islam yang sudah dimurnikan dari tiap anasir keagamaan yang lain
4
Memberi tekanan pada aspek penyempurnaan langsung agama, untuk memberi tekanan pada pengalaman keagamaan
Memberi tekanan pada aspek instrumental agama dan sangat memperhatikan tingkah laku keagamaan
5
Mempedomani madzhab yang terperinci dalam kitab-kitab ulasan keagamaan yang tradisional
Membenarkan hal itu atas dasar nilai pragmatisnya dalam kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum kepada Qur’an dan Hadits yang ditafsirkan secara bebas

Uraian Clifford Geertz mengenai varian santri tidak hanya menyangkut perihal dikotomi moderen dan konservatif, lebih jauh Clifford Geertz menyebutkan pola ibadah santri sebagai karakteristik seseorang dimasukkan ke dalam kelompok santri atau bukan. Pola-pola ibadat santri yang utama adalah sembahyang lima waktu, shalat Jum'at dan puasa. Tentu saja ibadat-ibadat yang dicatat Clifford Geertz belum mencakup kompleksitas ibadat yang dilakukan santri tetapi mungkin hal-hal itu yang tampak menonjol pada saat penelitiannya.

Masih dalam kerangka modernisme versus konservatif, Clifford Geertz mencatat pola pendidikan kalangan santri yang dikelompokkan ke dalam pondok pesantren dan madrasah (kalangan konservatif/ tradisional) dan dengan sekolah agama moderen adaptasi sistem pendidikan Barat (kalangan Moderen).

Melihat uraian-uraian Clifford Geertz mengenai santri sebagaimana sepintas diketengahkan, laik sekali kalau uraiannya tersebut disematkan sebagai uraian dengan perspektif dikotomis konservatif-moderen. Kenyataan juga membuktikan dikotomi konservatif-moderen di kalangan santri memang terlihat merupakan dikotomi yang paling kentara meskipun penelitian yang terkemudian (seperti yang dilakukan oleh Dhofier, 1978) menemukan kelemahan perspektif dikotomi konservatif-moderen dan menuduhnya sebagai pendekatan yang tidak dapat menggambarkan Islam Jawa secara memadai.

3. Priyayi

Priyayi merupakan varian yang menempati struktur elit masyarakat Jawa. Varian ini sering diasosiasikan dengan birokrasi pemerintahan yang sejak zaman kolonial mendapat posisi terhormat di kalangan masyarakat. Sebagai sub-kategori masyarakat Jawa, priyayi lebih mudah diidentifikasi dalam penghadap-hadapannya dengan wong cilik atau massa petani.

Clifford Geertz mengidentifikasi priyayi sebagai "orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos; tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristocrat asli sudah habis".

Tampak adanya perluasan makna priyayi yang kemungkinan disebabkan semakin sulitnya ditemukan priyayi yang asli dilihat dari sudut keturunannya. Namun demikian terdapat kemampuan atau mungkin kepercayaan di sebagian orang Jawa bahwa priyayi asli tidak akan tertukar dengan priyayi yang bukan berasal dari keturunan priyayi yang asli. Clifford Geertz tampaknya menggunakan definisi operasional yang lebih longgar terkait terma priyayi.

Priyayi senantiasa diasosiasikan dengan tradisi agung yakni kelompok yang mewarisi kebudayaan raja-raja Jawa. Tidak heran jika priyayi sering diidentikan dengan kelompok ideal yang seharusnya dicapai oleh individu-individu Jawa. Pun dalam kaitannya dengan pelaksanaan keagamaan priyayi memiliki ajaran mistik yang sangat abstrak yang sebagaimana telah di sebut di atas berubah menjadi praktek perdukunan di tangan kalangan abangan (wong cilik). Kepercayaan mistik demikian, menurut Clifford Geertz, bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang mendapat pengaruh tradisi Hindu-Budha, Clifford Geertz malah terang-terangan menghubungkan priyayi pada aspek-aspek Hindu.

Jika dibandingkan dengan varian santri dalam hal pengamalan ajaran agama, priyayi tampak lebih dekat dengan kalangan abangan yang juga abai terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Hal ini kemungkinan karena orientasi keagamaan priyayi yang sinkretis dan kalaupun terdapat pengamalan-pengamalan Islam tentu sudah mendapat penafsiran yang berbeda sebagaimana yang ditemukan Mark Woodward dalam kajian terhadap Islam di Kraton Yogyakarta.

Apa yang dikemukakan Clifford Geertz mengenai priyayi lebih merupakan penekanan unsur-unsur halus dari tradisi kalangan abangan dengan mistik sebagai sarana spiritual yang mendominasi kehidupan spiritual mereka. Dalam hal ini priyayi memiliki empat elemen dasar yang senantiasa menjadi pagar dan sekaligus menjadi karakter utama yang membedakan priyayi dengan non-priyayi. Keempat unsur dasar itu adalah etiket, bahasa, kesenian, dan mistik.

 

Konflik – Konflik yang Terjadi

1.    Konflik Ideologi

Ketegangan antara priyayi dan abangan dalam hal ideologi tidak begitu nampak secara jelas dibandingkan ketegangan antara kedua kelompok itu dengan kaum santri . Serangan kaum abangan terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri merasa memiliki moralitas yang lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung namun dalam kenyataan – menurut kaum abangan – masih melakukan perbuatan zina.

Dalam serangan priyayi, kritik terhadap kemunafikan santri dan intoleransi mereka sering digabungkan dengan perbedaan teoritis mengenai pola kepercayaan. Dari pihak santri sendiri menyerang dengan tidak kalah tajam. Kaum santri menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala. Sedangkan kaum priyayi dituduh tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan (dosa takabur yang berat sekali). Sehingga melalui itu, kaum santri memiliki tendensi yang jelas untuk menganggap setiap orang di luar kelompoknya sebagai komunis.

2.    Konflik Kelas

Ketegangan priyayi dan abangan terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu keseimbangan dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan dengan kaum abangan sehingga mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka.

Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum priyayi. Menurut kaum abangan, priyayi tidaklah lagi berada pada jarak yang jauh sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis yang berada pada puncak atas struktur sosial. Sedangkan kaum priyayi selalu berusaha melestarikan hak istimewa mereka yang tradisional supaya diterima oleh kelompok yang lebih luas termasuk kalangan abangan dan santri.

3.    Konflik Politik

Disamping konflik-konflik ideologis, perjuangan kekuasaan politik merupakan unsur yang ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Konflik politik yang berawal dari revolusi politik yang ada di Indonesia , yaitu ketika kekosongan kekuasaan yang tiba-tiba terjadi menyeret hampir semua kehidupan sosial ke sana . Perjuangan politik yang demikian meninggi tentu saja menghasilkan suatu konflik internal yang dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan (Geertz, 1981: 485-486).

Clifford Geertz pada membuat analisis tentang konflik dan integrasi yang terjadi berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan orientasi yang dapat memecah dan beberapa persamaan yang dapat merekatkan orang Jawa. Dalam pembacaannya tersebut Clifford Geertz memandang varian-varian keagamaan tersebut dapat memecah orang Jawa tetapi terdapat mekanisme internal yang dapat meredakan potensi konflik itu. Adanya varian dengan tipe campuran memungkinkan peredaan tajamnya potensi konflik karena melalui tipe-tipe tersebut orang Jawa memiliki semacam katup pengaman yang dengan sendirinya mencairkan suasana yang mungkin tengah menegang.

Meskipun demikian satu hal yang merupakan kesamaan di antara ketiga varian tersebut adalah kesepakatan mereka bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh orang Jawa secara umum. Dengan demikian, apapun yang mereka lakukan sepanjang berkaitan dengan kepercayaan terhadap spiritualitas akan senantiasa berada pada kisaran Islam meskipun pendulumnya terkadang sangat dekat dengan Islam (pada kasus santri), maupun bergeser menjauh dari doktrin utama Islam (pada kasus abangan dan priyayi).

Orientasi Ideologis

Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam memahami masyarakat Jawa juga dapat digunakan pendekatan dikotomis konservatif dan modernen. Ia melihat seluruh varian keagamaan terbagi dalam dua kelompok yang mewakili orientasi ideologisnya. Kalangan abangan mendapat bentuk moderennya dalam organisasi Permai dan termasuk dalam afiliasi politik pada tahun 1960-an biasanya berorientasi pada PKI dan PNI.

Kalangan santri tentu lebih tampak lagi rivalitasnya di mana dalam lapangan politik, kalangan santri juga terbelah ke afiliasi politik yang diwakili partai-partai baik tradisional maupun moderen. Nahdlatul Ulama (NU) mewakili haluan santri konservatif sedangkan Masyumi (Muhammadiyyah cenderung berafiliasi di dalamnya) merupakan saluran bagi kalangan santri yang lebih berorientasi moderen. Di samping itu ada juga partai kecil Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang juga berhaluan modernis. Kini mereka berafiliasi pada partai seperti PKS, PKB, PPP,dan partai yang berbasis Islam lainnya.

. Kalangan priyayi juga tidak luput dari kecenderungan ini yakni dengan adanya dua orientasi lama dan baru pada sekte-sekte mistik priyayi antara sebelum perang dan sesudahnya. Dengan demikian sekte mistik yang muncul setelah perang lebih mencerminklan orientasi modernis seperti sekte Budi Setia, Sumarah dan Kawruh Beja sedangkan sekte-sekte mistik seperti Ilmu Sejati dan Kawruh Kasunyatan berhaluan konservatif. kelompok masyarakat priyayi beafiliasi dengan partai PNI. Kini mereka berafiliasi pada partai Golkar.

 

Terdapat tiga inti struktur sosial di Jawa : Desa, Pasar, dan birokrasi pemerintah

·                 Substuruktur sosial yang pertama, Desa, diasosiasikan dengan masyarakat petani yang disebut Abangan. Substruktur sosial yang kedua, Pasar, diasosiasikan dengan kalangan Santri yang dihubungkan dengan elemen dagang dan pada elemen tertentu di kalangan tani juga. Substruktur yang ketiga, birokrasi pemerintah, diasosiasikan dengan kalangan Priyayi. Priyayi adalah kalangan masyarakat aristokrat turun temurun yang mengakar pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial.

 

Analisis dan Kritik buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa

Kritik terhadap Buku ini adalah dalam konteks pengertian tentang agama. Clifford Greetz tidak memberikan definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.

Santri, Abangan, dan Priyayi, adalah tipologi yang dikenalkan oleh Clifford Geertz tentang bagaimana perkembangan masyarakat islam di jawa. Konsepnnya ini bukanlah suatu stratifikasi, melainkan diferensiasi artinya bahwa itu merupakan satu hal yang bukan dilakukan untuk memasukkan manusia ke dalam kelas dan memiliki status yang vertical melainkan lebih cenderung ke arah horizontal. Akan teapi perlu dipahami bahwa tipologi tersebut tidaklah bersifat ajeg kepada satu orang, buktinya ada semacam pergeseran pandangan dan mind-set tentang sebagian orang ketika ia muda menjadi abangan atau priyayai, tetapi ketika tua menjadi santri.

Ketiga struktur sosial tersebut sangat berpengaruh terhadap masyarakat di Mojokuto, kita bisa melihat bagaimana ketiga struktur sosial tersebut melakukan aktivitas religinya yang masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri. Kaum abangan menitikberatkan segi-segi animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh. Meskipun pada perkembangannya, banyak kaum abangan yang mengakulturasi konsep Jawa di ajaran Islam contohnya adalah tradisi Grebeg Mulud, Grebeg Besar, dan lain sebagainya.

Sedangkan terkait dengan analisis Mengenai isi dari buku ini Apakah dapat di terapkan dalam kehidupan saat ini. Karakteristik dari varian ini tercermin pada pemilu tahun 1955 dimana pada masa itu ada 5 roh pemikiran partai-partai politik besar yakni radikal nasionalisme, tradisional jawa, islam, sosial demokrat dan komunisme. Dalam ideologi tersebut merupakan orientasi ideologis yakni varian abangan, santri dan priyayi, Kalangan abangan berorientasi pada PKI dan PNI. Kalangan santri PPP dan kalangan priyayi beafiliasi dengan partai PNI. Dalam hal tersebut masih dapat terlihat corak keberagamannya. Namun setelah era Reformasi ideology-ideologi tersebut hilang.

Dimana  pada dasarnya, masyarakat merupakan sebuah sistem sosial dimana terdapat komponen-kompoen atau jaringan yang saling berpengaruh. Di dalamnya juga terdapat pranata sosial yang mengatur pola perilaku dan interaksi antar masyarakat. Ketika semua sistem berjalan secara seimbang, maka akan tercipta masyarakat yang tentram dan harmonis. Secara alami, dalam suatu sistem masyarakat terdapat pula stratifikasi sosial, yakni penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan suatu kriteria tertentu,sehingga dalam hal ini melalui adanya stratifkasi sosial seperti tersebut, akan menimbulkan tingkatan-tingkatan sosial dalam masyarakat.  Karena mengingat bahwa perkembangan kebudayaan di Indonesia dengan di dukung sumber daya manusia dengan pemikirannya yang begitu cerdas dapat mengilhami bahwa adanya bentuk stratifikasi sosial yang ada di masyarakat yakni abangan,santri dan priyayi ini akan sangat sulit untuk di terapkan. Pembagian masyarakat kedalam beberapa tingkatan untuk sekarang ini berdasarkan pada ekonomi dan kelas. Semakin besar pendapatan yang di dapatkan orang tersebut maka semakin tinggi kedudukan dari orang tersebut dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar