OVERVIEW BUKU KARANGAN CLIFFORD
GEERTZ
“ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI DALAM
KEBUDAYAAN JAWA“
Buku Clifford Geertz ini adalah merupakan karya yang mendasarkan kajiannya
pada tesis utama bahwa masyarakat Jawa dilihat dari sudut pandang pelaksanaan
tindak keagamaan dan afiliasi domisili yang terbagi kedalam tiga varian
keagamaan yakni abangan, santri dan priyayi. Clifford Geertz juga mengambil penggolongan
penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto yang didasarkan pada
kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik. Dia kemudain menemukan
tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang
mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Secara sederhana abangan
diasosiasikan dengan petani yang tinggal di desa-desa dan dipandang sebagai
varian yang lebih dekat dengan pemahaman animisme dalam orientasi keagamaannya atau
kepercayaan terhadap adanya makhluk
halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Sedangkan santri adalah varian didominasi kalangan pedagang
yang memegang kendali pasar meski bukan sebagai pedagang dalam skala besar dan
diasosiasikan dengan penganut ajaran Islam yang taat. Dan yang terkahir adalah
varian priyayi merupakan kelompok yang menduduki elit kekuasaan dengan
posisi-posisi pemerintahan dan seringkali diasosiasikan dengan kota serta lebih
dekat dengan ajaran mistik dalam orientasi keagamaannya.
Artikulasi Keyakinan
Dalam buku The Religion Of Java:
Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Kebudayaan Jawa,
Clifford Geertz memandang orang jawa dengan orientasi yang berbeda-beda
memiliki cara yang beragam dalam mengartikulasikan keyakinan mereka. Kalangan
abangan mengekspresikan keyakinan mereka dengan upacara slametan di mana tujuan
akhir dari upacara tersebut adalah terciptanya harmoni dalam kehidupan mereka
dan dihubungkan dengan roh-roh yang bagi mereka senantiasa mempengaruhi
kehidupan mereka setiap saat. Kalangan santri sebagai kalangan yang taat kepada
Islam mengekspresikan keyakinan mereka melalui pengamalan yang taat terhadap
ajaran-ajaran Islam dan semua itu ditujukan kepada Allah SWT, Kalangan santri
diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih
murni bukan saja pada tatacara pokok peribadatannya, namun juga dalam
keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial. Kalangan Priyayi tidak
menekankan pada elemen animistik dari sinkrestisme Jawa seperti kaum abangan, tidak
pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum santri, tetapi
menitikberatkan pada elemen Hinduisme.
Clifford
Geertz dapat memahami agama Jawa melalui praktek-praktek keagamaan orang Jawa
dan berbagai penafsiran simbol-simbol yang digunakan oang Jawa dalam
mengartikulasikan kepercayaan-kepercayaan mereka dalam aktivitas-aktivitas yang
sangat kompleks.
Tiga varian keagamaan; abangan,
santri dan priyayi
Temuan Clifford Geertz terhadap
identifikasinya yang trikotomis dan menganggap identifikasi ini sebagai
identifikasi yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri yakni pembagian masyarakat
Jawa menjadi tiga varian abangan, santri dan priyayi.
1. Abangan
Varian abangan merupakan varian
keagamaan yang menitikberatkan aspek animistis dari sinkretrisme Jawa sebagai
pola keagamaannya dan senantiasa dihubungkan dengan petani yang tinggal di
pedesaan (Clifford Geertz : 8). Clifford Geertz sedari awal menyadari bahwa
terma abangan menjadi mudah dimengerti dalam penghadap-hadapannya dengan terma
santri. Yang pertama mewakili kelompok yang tidak memedulikan doktrin keagamaan
(Islam) dan terlampau memerhatikan detail ritual sedangkan yang kedua merupakan
sisi kebalikannya.
Meskipun demikian Clifford Geertz
tampak lebih menganggap terma abangan sebagai varian keagamaan yang dalam hal
ini bukan hanya bermakna ketika dilihat dalam penghadap-hadapannya dengan
santri tetapi juga dengan priyayi. Hal penting yang dapat dicatat di sini
adalah pernyataan Clifford Geertz bahwa kategori-kategori atau varian-varian
yang dia kemukakan tidak diperlakukannya secara absolut meskipun seringkali
uraiannya mengindikasikan sebaliknya.
Abangan dalam kacamata Clifford
Geertz menampilkan sosok yang cukup menarik. Di satu sisi abangan mewakili
kelompok yang abai dengan pelaksanaan doktrin keagamaan yang ketat bahkan dalam
banyak kesempatan menentangnya di sisi lain abangan menampilkan wujud kasar
dari perilaku priyayi. Dalam hal ini beberapa contoh diajukan Clifford Geertz
antara lain kesenian-kesenian tinggi priyayi yang di tangan kelompok abangan
menjadi seni kasar, praktek mistik yang oleh priyayi sangat dijunjung
tinggi di tangan abangan berubah menjadi praktik perdukunan, minat kepada
pengalaman keagamaan individual di tangan abangan menjadi minat kepada keagamaan
kelompok.
Dengan demikian Clifford Geertz
memandang perbedaan antara abangan dengan santri lebih dilihat dalam kaitannya
dengan orientasi keagamaan atau ketaatan seseorang terhadap agama sementara
perbedaan antara abangan dengan priyayi lebih didasarkan pada "segi isi
budaya" di mana orientasi priyayi dan abangan "untuk sebagian hanya
merupakan versi halus dan kasar dari masing-masingnya".
Uraian Clifford Geertz tentang
varian abangan didominasi oleh kajiannya mengenai slametan. Slametan dalam
pandangan Clifford Geertz Slametan adalah "versi Jawa dari apa yang
barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di
dalamnya". Clifford Geertz juga menganggap slametan sebagai "upacara
dasar yang inti di sebagian masyarakat Mojokuto di mana pandangan dunia abangan
paling menonjol".
Penjelasan
Clifford Geertz yang sangat detail mengenai upacara slametan di kalangan
abangan membawa kepada penyimpulan bahwa di mata Clifford Geertz slametan bagi
kelompok abangan adalah segala-galanya dan menempati posisi sentral.
2. Santri
Santri merupakan varian yang
memiliki kecenderungan ketaatan kepada ajaran-ajaran Islam. Clifford Geertz
menyebutnya sebagai kalangan "yang mewakili suatu titik berat pada aspek
Islam dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang (dan kepada elemen tertentu
di kalangan tani juga)".
Mengidentifikasi
varian santri tentu lebih mudah karena afiliasinya kepada ajaran Islam
mempermudah pelacakan kepada dogma-dogma maupun nilai moral yang umum dianut di
kalangan Islam. Namun demikian santri dalam pandangan Clifford Geertz tidak
sesederhana sebagaimana pemeluk agama Islam di belahan duania lainnya. Terdapat
dua orientasi utama yang sebagaimana disebut dalam bagian terdahulu yakni
adanya kelompok konservatif dan kelompok moderen. Kedua kelompok tersebut pada
saat dilakukan penelitian Clifford Geertz (sekitar dekade 50-an) telah
menunjukkan rivalitasnya yang intens dan berlanjut hingga hari ini. Lima pasang
pertentangan antara konservatif dan moderen dalam kalangan santri dapat dilihat
pada tabel berikut :
No
|
Konservatif
|
Moderen
|
1
|
Tekanan terutama diberikan pada hubungan dengan Tuhan di
mana penerimaan rahmat dan berkat sebagai hasil kemurahan-Nya dan sebagai
ganjaran untuk keteguhan moral dan pengertian bahwa nasib ditetapkan oleh
kehendak Tuhan (fatalis)
|
Menitikberatkan hubungan dengan Tuhan dalam mana kerja
keras dan penentuan nasib sendiri jadi titik beratnya
|
2
|
agama bersifat kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan,
di mana semua segi usaha manusia cenderung menerima makna keagamaan dan di
mana batas antara apa yang bersifat keagamaan dan sekuler cenderung kabur
|
Memegang pengertian yang sempit tentang agama di mana
hanya aspek-aspek tertentu yang jelas batasnya yang dianggap suci dan di mana
batas antara apa yang agama dan apa yang sekuler cenderung cukup tajam
|
3
|
Secara umum berorientasi unifikasi terhadap kultur
setempat
|
Menuntut Islam yang sudah dimurnikan dari tiap anasir
keagamaan yang lain
|
4
|
Memberi tekanan pada aspek penyempurnaan langsung agama,
untuk memberi tekanan pada pengalaman keagamaan
|
Memberi tekanan pada aspek instrumental agama dan sangat
memperhatikan tingkah laku keagamaan
|
5
|
Mempedomani madzhab yang terperinci dalam kitab-kitab
ulasan keagamaan yang tradisional
|
Membenarkan hal itu atas dasar nilai pragmatisnya dalam
kehidupan masa kini dan dengan penunjukan umum kepada Qur’an dan Hadits yang
ditafsirkan secara bebas
|
Uraian
Clifford Geertz mengenai varian santri tidak hanya menyangkut perihal dikotomi
moderen dan konservatif, lebih jauh Clifford Geertz menyebutkan pola ibadah
santri sebagai karakteristik seseorang dimasukkan ke dalam kelompok santri atau
bukan. Pola-pola ibadat santri yang utama adalah sembahyang lima waktu, shalat
Jum'at dan puasa. Tentu saja ibadat-ibadat yang dicatat Clifford Geertz belum
mencakup kompleksitas ibadat yang dilakukan santri tetapi mungkin hal-hal itu
yang tampak menonjol pada saat penelitiannya.
Masih dalam kerangka modernisme
versus konservatif, Clifford Geertz mencatat pola pendidikan kalangan santri
yang dikelompokkan ke dalam pondok pesantren dan madrasah (kalangan
konservatif/ tradisional) dan dengan sekolah agama moderen adaptasi sistem
pendidikan Barat (kalangan Moderen).
Melihat
uraian-uraian Clifford Geertz mengenai santri sebagaimana sepintas diketengahkan,
laik sekali kalau uraiannya tersebut disematkan sebagai uraian dengan
perspektif dikotomis konservatif-moderen. Kenyataan juga membuktikan dikotomi
konservatif-moderen di kalangan santri memang terlihat merupakan dikotomi yang
paling kentara meskipun penelitian yang terkemudian (seperti yang dilakukan
oleh Dhofier, 1978) menemukan kelemahan perspektif dikotomi konservatif-moderen
dan menuduhnya sebagai pendekatan yang tidak dapat menggambarkan Islam Jawa
secara memadai.
3. Priyayi
Priyayi merupakan varian yang
menempati struktur elit masyarakat Jawa. Varian ini sering diasosiasikan dengan
birokrasi pemerintahan yang sejak zaman kolonial mendapat posisi terhormat di
kalangan masyarakat. Sebagai sub-kategori masyarakat Jawa, priyayi lebih mudah
diidentifikasi dalam penghadap-hadapannya dengan wong cilik atau massa petani.
Clifford Geertz mengidentifikasi
priyayi sebagai "orang yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai
kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos;
tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi
kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik
ke dalam birokrasi akibat persediaan aristocrat asli sudah habis".
Tampak adanya perluasan makna
priyayi yang kemungkinan disebabkan semakin sulitnya ditemukan priyayi yang
asli dilihat dari sudut keturunannya. Namun demikian terdapat kemampuan atau
mungkin kepercayaan di sebagian orang Jawa bahwa priyayi asli tidak akan
tertukar dengan priyayi yang bukan berasal dari keturunan priyayi yang asli. Clifford
Geertz tampaknya menggunakan definisi operasional yang lebih longgar terkait
terma priyayi.
Priyayi senantiasa diasosiasikan
dengan tradisi agung yakni kelompok yang mewarisi kebudayaan raja-raja Jawa.
Tidak heran jika priyayi sering diidentikan dengan kelompok ideal yang
seharusnya dicapai oleh individu-individu Jawa. Pun dalam kaitannya dengan
pelaksanaan keagamaan priyayi memiliki ajaran mistik yang sangat abstrak yang
sebagaimana telah di sebut di atas berubah menjadi praktek perdukunan di tangan
kalangan abangan (wong cilik). Kepercayaan mistik demikian, menurut Clifford
Geertz, bersumber dari ajaran-ajaran Islam yang mendapat pengaruh tradisi
Hindu-Budha, Clifford Geertz malah terang-terangan menghubungkan priyayi pada
aspek-aspek Hindu.
Jika dibandingkan dengan varian
santri dalam hal pengamalan ajaran agama, priyayi tampak lebih dekat dengan
kalangan abangan yang juga abai terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Hal ini
kemungkinan karena orientasi keagamaan priyayi yang sinkretis dan kalaupun
terdapat pengamalan-pengamalan Islam tentu sudah mendapat penafsiran yang
berbeda sebagaimana yang ditemukan Mark Woodward dalam kajian terhadap Islam di
Kraton Yogyakarta.
Apa yang dikemukakan Clifford Geertz
mengenai priyayi lebih merupakan penekanan unsur-unsur halus dari tradisi
kalangan abangan dengan mistik sebagai sarana spiritual yang mendominasi
kehidupan spiritual mereka. Dalam hal ini priyayi memiliki empat elemen dasar
yang senantiasa menjadi pagar dan sekaligus menjadi karakter utama yang
membedakan priyayi dengan non-priyayi. Keempat unsur dasar itu adalah etiket,
bahasa, kesenian, dan mistik.
Konflik
– Konflik yang Terjadi
1. Konflik Ideologi
Ketegangan antara priyayi dan
abangan dalam hal ideologi tidak begitu nampak secara jelas dibandingkan
ketegangan antara kedua kelompok itu dengan kaum santri . Serangan kaum abangan
terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum
abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri merasa memiliki moralitas yang
lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung
namun dalam kenyataan – menurut kaum abangan – masih melakukan perbuatan zina.
Dalam
serangan priyayi, kritik terhadap kemunafikan santri dan intoleransi mereka
sering digabungkan dengan perbedaan teoritis mengenai pola kepercayaan. Dari
pihak santri sendiri menyerang dengan tidak kalah tajam. Kaum santri menuduh
kaum abangan sebagai penyembah berhala. Sedangkan kaum priyayi dituduh tidak
bisa membedakan dirinya dengan Tuhan (dosa takabur yang berat sekali). Sehingga
melalui itu, kaum santri memiliki tendensi yang jelas untuk menganggap setiap
orang di luar kelompoknya sebagai komunis.
2. Konflik Kelas
Ketegangan priyayi dan abangan
terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh
kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu keseimbangan
dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih
tinggi dibangdingkan dengan kaum abangan sehingga mereka tidak suka jika kaum
abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka.
Namun sejak zaman pendudukan Jepang
di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial
dengan kaum priyayi. Menurut kaum abangan, priyayi tidaklah lagi berada pada
jarak yang jauh sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis
yang berada pada puncak atas struktur sosial. Sedangkan kaum priyayi selalu
berusaha melestarikan hak istimewa mereka yang tradisional supaya diterima oleh
kelompok yang lebih luas termasuk kalangan abangan dan santri.
3. Konflik Politik
Disamping konflik-konflik ideologis,
perjuangan kekuasaan politik merupakan unsur yang ketiga yang mempertajam
konflik keagamaan. Konflik politik yang berawal dari revolusi politik yang ada
di Indonesia , yaitu ketika kekosongan kekuasaan yang tiba-tiba terjadi
menyeret hampir semua kehidupan sosial ke sana . Perjuangan politik yang
demikian meninggi tentu saja menghasilkan suatu konflik internal yang
dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan (Geertz, 1981: 485-486).
Clifford Geertz pada membuat
analisis tentang konflik dan integrasi yang terjadi berdasarkan adanya
perbedaan-perbedaan orientasi yang dapat memecah dan beberapa persamaan yang
dapat merekatkan orang Jawa. Dalam pembacaannya tersebut Clifford Geertz
memandang varian-varian keagamaan tersebut dapat memecah orang Jawa tetapi
terdapat mekanisme internal yang dapat meredakan potensi konflik itu. Adanya
varian dengan tipe campuran memungkinkan peredaan tajamnya potensi konflik
karena melalui tipe-tipe tersebut orang Jawa memiliki semacam katup pengaman
yang dengan sendirinya mencairkan suasana yang mungkin tengah menegang.
Meskipun demikian satu hal yang
merupakan kesamaan di antara ketiga varian tersebut adalah kesepakatan mereka
bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh orang Jawa secara umum. Dengan
demikian, apapun yang mereka lakukan sepanjang berkaitan dengan kepercayaan
terhadap spiritualitas akan senantiasa berada pada kisaran Islam meskipun
pendulumnya terkadang sangat dekat dengan Islam (pada kasus santri), maupun
bergeser menjauh dari doktrin utama Islam (pada kasus abangan dan priyayi).
Orientasi Ideologis
Clifford Geertz menyatakan bahwa
dalam memahami masyarakat Jawa juga dapat digunakan pendekatan dikotomis
konservatif dan modernen. Ia melihat seluruh varian keagamaan terbagi dalam dua
kelompok yang mewakili orientasi ideologisnya. Kalangan abangan mendapat bentuk
moderennya dalam organisasi Permai dan termasuk dalam afiliasi
politik pada tahun 1960-an biasanya
berorientasi pada PKI dan PNI.
Kalangan santri tentu lebih tampak
lagi rivalitasnya di mana dalam lapangan politik, kalangan santri juga terbelah
ke afiliasi politik yang diwakili partai-partai baik tradisional maupun
moderen. Nahdlatul Ulama (NU) mewakili haluan santri konservatif sedangkan
Masyumi (Muhammadiyyah cenderung berafiliasi di dalamnya) merupakan saluran
bagi kalangan santri yang lebih berorientasi moderen. Di samping itu ada juga
partai kecil Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang juga berhaluan modernis.
Kini mereka berafiliasi pada partai seperti PKS, PKB, PPP,dan partai yang
berbasis Islam lainnya.
. Kalangan priyayi juga tidak luput
dari kecenderungan ini yakni dengan adanya dua orientasi lama dan baru pada
sekte-sekte mistik priyayi antara sebelum perang dan sesudahnya. Dengan
demikian sekte mistik yang muncul setelah perang lebih mencerminklan orientasi
modernis seperti sekte Budi Setia, Sumarah dan Kawruh Beja sedangkan
sekte-sekte mistik seperti Ilmu Sejati dan Kawruh Kasunyatan berhaluan konservatif.
kelompok masyarakat priyayi beafiliasi dengan partai PNI. Kini mereka
berafiliasi pada partai Golkar.
Terdapat
tiga inti struktur sosial di Jawa : Desa, Pasar, dan birokrasi pemerintah
· Substuruktur sosial yang pertama, Desa, diasosiasikan dengan masyarakat petani yang disebut Abangan. Substruktur sosial yang kedua, Pasar, diasosiasikan dengan kalangan
Santri yang dihubungkan dengan elemen dagang dan pada elemen tertentu di
kalangan tani juga. Substruktur yang ketiga, birokrasi pemerintah, diasosiasikan
dengan kalangan Priyayi. Priyayi adalah kalangan masyarakat aristokrat turun
temurun yang mengakar pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial.
Analisis dan Kritik buku Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa
Kritik terhadap Buku ini adalah
dalam konteks pengertian tentang agama. Clifford Greetz tidak memberikan
definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang
menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang
ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama
dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai
pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.
Santri, Abangan, dan Priyayi, adalah
tipologi yang dikenalkan oleh Clifford Geertz tentang bagaimana perkembangan
masyarakat islam di jawa. Konsepnnya ini bukanlah suatu stratifikasi, melainkan
diferensiasi artinya bahwa itu merupakan satu hal yang bukan dilakukan untuk
memasukkan manusia ke dalam kelas dan memiliki status yang vertical melainkan
lebih cenderung ke arah horizontal. Akan teapi perlu dipahami bahwa tipologi
tersebut tidaklah bersifat ajeg
kepada satu orang, buktinya ada semacam pergeseran pandangan dan mind-set tentang sebagian orang ketika
ia muda menjadi abangan atau priyayai, tetapi ketika tua menjadi santri.
Ketiga struktur sosial tersebut sangat
berpengaruh terhadap masyarakat di Mojokuto, kita bisa melihat bagaimana ketiga
struktur sosial tersebut melakukan aktivitas religinya yang masing-masing
mempunyai ciri khas tersendiri. Kaum abangan menitikberatkan segi-segi animisme
sinkretisme Jawa yang menyeluruh. Meskipun pada perkembangannya, banyak kaum
abangan yang mengakulturasi konsep Jawa di ajaran Islam contohnya adalah
tradisi Grebeg Mulud, Grebeg Besar, dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait dengan
analisis Mengenai isi dari buku ini Apakah dapat di terapkan dalam kehidupan
saat ini. Karakteristik dari varian ini tercermin pada pemilu tahun 1955 dimana
pada masa itu ada 5 roh pemikiran partai-partai politik besar yakni radikal
nasionalisme, tradisional jawa, islam, sosial demokrat dan komunisme. Dalam
ideologi tersebut merupakan orientasi ideologis yakni varian abangan, santri
dan priyayi, Kalangan
abangan berorientasi pada PKI dan PNI. Kalangan santri PPP dan kalangan priyayi
beafiliasi dengan partai PNI. Dalam hal tersebut masih dapat terlihat corak
keberagamannya. Namun setelah era Reformasi ideology-ideologi tersebut hilang.
Dimana pada dasarnya,
masyarakat merupakan sebuah sistem sosial dimana terdapat komponen-kompoen atau
jaringan yang saling berpengaruh. Di dalamnya juga terdapat pranata sosial yang
mengatur pola perilaku dan interaksi antar masyarakat. Ketika semua sistem
berjalan secara seimbang, maka akan tercipta masyarakat yang tentram dan
harmonis. Secara alami, dalam suatu sistem masyarakat terdapat pula
stratifikasi sosial, yakni penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas
berdasarkan suatu kriteria tertentu,sehingga dalam hal ini melalui adanya
stratifkasi sosial seperti tersebut, akan menimbulkan tingkatan-tingkatan sosial
dalam masyarakat. Karena mengingat bahwa
perkembangan kebudayaan di Indonesia dengan di dukung sumber daya manusia
dengan pemikirannya yang begitu cerdas dapat mengilhami bahwa adanya bentuk
stratifikasi sosial yang ada di masyarakat yakni abangan,santri dan priyayi ini
akan sangat sulit untuk di terapkan. Pembagian masyarakat kedalam beberapa
tingkatan untuk sekarang ini berdasarkan pada ekonomi dan kelas. Semakin besar
pendapatan yang di dapatkan orang tersebut maka semakin tinggi kedudukan dari
orang tersebut dalam stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar